Siang itu, kota Nagasaki diguyur cahaya matahari yang terang dan panas. Langit bersih tanpa awan, dan udara kering membuat setiap langkah terasa lebih berat dari biasanya. Tapi justru di tengah kondisi itulah, kami---saya dan istri---memutuskan untuk menyusuri salah satu sudut kota yang paling penuh warna: Chinatown Nagasaki, atau Shinchi Chkagai, yang katanya merupakan Chinatown tertua di Jepang.
Kami naik Nagasaki Denki, trem klasik berwarna hijau-putih yang menggeret perlahan di antara jalan-jalan kota tua. Setiap derit roda besi dan dentingan bel trem memberi kesan seolah kami sedang bergerak dalam potongan film dokumenter. Kami turun di halte Shinchi Chinatown , halte terdekat menuju kawasan pecinan. Dari sana, kami hanya perlu berjalan kaki beberapa menit untuk mencapai gerbang besar dengan ornamen merah dan emas yang mencolok: pintu masuk ke dunia lain---Tiongkok di tengah Jepang.
Pecinan yang Tidak Terasa Jepang
Begitu kami masuk ke jalan utama Chinatown, rasanya seperti menyeberang ke dimensi yang berbeda. Gedung-gedungnya pendek, lebar, dan berwarna cerah. Di kiri-kanan, papan nama bertuliskan huruf Hanzi berjejer rapi di atas pintu toko dan restoran. Jalan ini sepenuhnya dikhususkan untuk pejalan kaki, dan penuh dengan deretan restoran Cina, kedai camilan, toko keramik, gantungan shio, lampion merah, dan aroma minyak wijen yang menguar di udara.
Saya berkomentar pelan pada istri, "Kita seperti di Pasar Baru, ya. Versi Jepang dan lebih sepi." Ia tertawa setuju. Chinatown ini memang tidak besar, tapi punya daya tarik yang kuat. Sementara itu Chinatown terluas di Jepang sendiri terdapat di Yokohama.
Kami melewati toko yang menjual biskuit wijen dan manju (mantao) isi kacang merah. Di pojok lain, ada penjual teh kering dan keramik. Di tengah panas, kami berteduh sejenak di bawah atap bangunan toko yang menjorok kaki lima , sambil sesekali melihat lampion yang bergoyang ditiup angin kering musim panas, matahari Agustus di Nagasaki memang menyengat.
Di sudut-sudut kecil, terlihat kuil kecil bertiang batu dan altar dupa. Meskipun berada di Jepang, tempat ini hidup dengan suasana Tiongkok yang sangat kental---lebih terasa dari sekadar arsitektur atau bahasa; ini suasana yang terbentuk dari waktu, dari warisan, dari hidup bersama yang sudah berjalan lebih dari tiga abad.
Sejarah Chinatown Nagasaki
Shinchi Chinatown bukan hanya tempat wisata. Ia adalah jejak hidup dari imigrasi Tionghoa ke Jepang sejak zaman Edo, khususnya abad ke-17. Saat itu, pelabuhan Dejima di Nagasaki adalah satu-satunya pelabuhan yang dibuka untuk perdagangan luar negeri. Pedagang dari Fujian dan Guangdong datang membawa barang dagangan---dan membawa serta budaya mereka: bahasa, agama, makanan.
Karena kebijakan isolasi Jepang saat itu, orang asing harus tinggal di kawasan tertentu yang dibatasi. Maka dibangunlah Shinchi---"tanah baru"---yang secara resmi diperuntukkan bagi komunitas Tionghoa. Dari sana, tumbuhlah distrik dagang yang juga menjadi tempat ibadah dan budaya. Meski sempat hancur karena perang dan kebakaran, kawasan ini kembali dibangun dan sekarang menjadi Chinatown paling padat di Jepang (walau tidak paling luas).
Bagi saya, berjalan di sini bukan sekadar wisata, tapi seperti menapaki jejak percampuran sejarah dan akulturasi yang tidak banyak dibicarakan. Dalam jalan selebar lima meter ini, terasa betul betapa Tiongkok dan Jepang saling mengisi. Apalagi budaya mereka termasuk tulisan sebetulnya sangat mirip. Bahkan tulisan kanji Jepang sebenarnya adalah tulisan Hanzi sehingga satu gambar yang sama memiliki makna yang sama walau diucapkan berbeda.
Panas, Lapar, dan Aroma yang Menggoda
Setelah sekitar 20 menit menyusuri lorong utama Chinatown, rasa lapar mulai terasa. Kami sudah cukup banyak melihat menu yang dipajang di depan restoran---dari pangsit, mi goreng, sup tofu, hingga mi kuah bernama Champon yang ditulis besar-besar di banyak papan nama.
Akhirnya kami memutuskan untuk mencoba satu restoran yang berada di ujung jalan, tak jauh dari patung naga perunggu. Dari luar tampak sederhana, tapi interiornya nyaman. Dindingnya dihiasi kaligrafi Cina dan foto-foto makanan. Pelayan menyambut dengan sopan, dan menu ditawarkan dalam tiga bahasa: Jepang, Cina, dan Inggris.
Kami sudah sepakat dari tadi untuk mencoba satu porsi Champon, kuliner khas Nagasaki. Karena cuaca panas, kami juga memesan satu teko teh---yang ternyata disajikan lengkap dengan dua gelas, bersama es batu di dalamnya. Teh panas jadi dingin seketika, dan sensasinya sangat menyegarkan.
Champon: Mi dari Pelabuhan
Champon bukan sekadar makanan, tapi simbol kuliner multicultural Nagasaki. Hidangan ini lahir dari kebutuhan praktis: para pemilik restoran Cina zaman dulu ingin menyediakan makanan bergizi, cepat, dan murah untuk para pelajar imigran dari Fujian. Maka dibuatlah mi kuah dengan berbagai topping sayur dan laut, yang dimasak langsung dalam kuah (bukan direbus terpisah seperti ramen).
Yang menarik, Champon bukan masakan asli Jepang, tapi juga bukan sepenuhnya masakan Cina. Ia berada di tengah, hasil percampuran: kuah kaldu dari tulang dan seafood khas Jepang, tapi dengan teknik tumis dan bahan seperti sawi putih dan udang yang sangat Cina.
Harga seporsinya sekitar 1.500 yen---cukup terjangkau untuk porsi besar yang bisa kami bagi berdua. Dan memang, semangkuk Champon ini datang dalam ukuran besar. Kuahnya putih keruh, hasil rebusan kaldu seafood. Di atasnya tersaji irisan sawi, tauge, wortel, udang, cumi, serta potongan bakso ikan dan jagung.
Saat saya menyeruput kuahnya, rasanya langsung membuat keringat saya mengalir lagi. Hangat, gurih, dan dalam---kuahnya ringan tapi padat rasa, seperti kombinasi sup laut dan sayur tumis. Mienya tebal dan kenyal, menyerap kaldu dengan baik. Rasanya benar-benar khas; bukan ramen, bukan bakmi, tapi sesuatu yang lain---dan unik.
Kami berbagi mangkuk itu perlahan, sambil menyeruput teh yang perlahan mencair oleh es. Suasana di restoran tenang, hanya terdengar suara angin dari kipas langit-langit dan obrolan pelan pelanggan lain. Siang yang panas menjadi lembut. Perut kenyang, pikiran tenang.
Warisan di Semangkuk Mie
Saya menyadari, ada sesuatu yang dalam dari semangkuk Champon ini. Ia bukan hanya makanan khas daerah. Ia adalah jejak sejarah---tentang pertemuan budaya, tentang adaptasi, tentang kehidupan multietnis di kota pelabuhan.
Nagasaki bukan Tokyo atau Kyoto. Tapi justru di tempat seperti inilah---di pinggiran sejarah besar Jepang---kita bisa melihat bagaimana budaya dibentuk bukan dari kekuasaan, tapi dari percampuran yang organik. Champon adalah buktinya.
Kembali ke Jalan
Setelah makan, kami berjalan lagi menyusuri lorong yang sama. Kini lampion merah tampak lebih akrab, lebih bersahabat. Chinatown ini mungkin kecil, tapi penuh warna. Di tengah jalan, kami sempat berhenti membeli sepotong kue wijen, dan memotret patung naga serta kuil kecil yang terletak di sudut jalan.
Lalu, saat jam menunjukkan pukul tiga sore, kami kembali ke halte tren untuk melanjutkan perjalanan menjelajahi kota Nagasaki. Kami naik trem lagi---masih dengan gerbong klasik berderit pelan. Kali ini menuju kawasan dekat Peace Park dan mencari Masjid yang lokasinya tidak jauh dari sana.
Chinatown dan Champon
Siang itu, Chinatown Nagasaki memberi kami lebih dari sekadar tempat makan siang. Ia memberi pengalaman melintasi sejarah, budaya, dan rasa---dalam bentuk lampion merah, kaligrafi emas, dan semangkuk Champon yang hangat di perut.
Kami datang tanpa banyak ekspektasi, hanya ingin menghindari siang yang terik. Tapi pulang dengan hati yang lebih hangat. Saya percaya, kota-kota pelabuhan seperti Nagasaki menyimpan hal-hal seperti ini: percampuran yang tidak pernah dipaksakan, dan karena itu terasa lebih tulus dan alami.
Dan semuanya bisa dimulai dari semangkuk mie bernama champon
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI