Saya tidak ikut naik, meskipun sebenarnya ingin juga. Tapi saya cukup senang hanya dengan memotret, merekam kegembiraan mereka dari dekat. Harga naik kuda atau kerbau di sawah ini ternyata Rp100.000, sudah termasuk minuman. Sebuah paket yang bukan hanya menyenangkan, tapi juga penuh nilai edukasi.
Setelah puas memotret dan menikmati pemandangan itu, saya sempat berjalan-jalan di pematang sawah dengan padi yang sedang menghijau. Berapa mata tampak
sangat dimanjakan.
Setelah menakutkan sarapan saya sempatkan sekali lagi mengamati anak-anak lain yang naik kerbau dan bermain menanam padi di sawah.
Puas melihat suasana sawah, saya sempatkan mampir sejenak di kolam renang. Airnya ternyata sedikit hangat. Sekedar menggerakkan tubuh dan merasakan kehangatan air kolam yang berpadu udara sejuk Garut.
Kemudian, saya juga sempat mampir ke lobi. Di sanalah satu kejutan kecil lainnya muncul: saya melihat koran Kompas terpajang di rak baca.lengkap dengan tongkat panjangnya. Khas model zaman dahulu di hotel-hotel.
Rasanya, sudah lama sekali saya tidak menyentuh koran fisik. Biasanya semua berita saya konsumsi lewat layar digital. Tapi pagi itu, saya buka lembar demi lembar Kompas. Aroma khas kertas koran, susunan berita yang rapi, opini yang dalam---semuanya membawa saya pada nostalgia masa lalu, saat membaca koran adalah bagian dari ritual pagi.
Ada keheningan yang menyenangkan pagi itu. Tak ada hiruk-pikuk kota, tak ada dering notifikasi. Hanya suara angin, tawa anak-anak di kejauhan, dan desau dedaunan yang menari pelan. Hotel ini, tanpa saya sangka, menyimpan pengalaman yang lebih dari sekadar tempat tidur yang nyaman. Ia menyuguhkan pemandangan, kesederhanaan, dan potongan kehidupan yang memantik kenangan.
Garut, dengan segala kesahajaannya, menawarkan sesuatu yang jarang ditemukan di kota besar: ruang untuk memperlambat langkah dan menyapa alam.
Sayang, kami tak menginap lama. Siangnya langsung pulang, membawa oleh-oleh berupa kenangan dan semangat baru. Tapi pagi itu---dengan sawah, anak-anak berkuda dan bertanam padi, sarung dan caping, suara khas Sunda dari mikrofon, teh panas, dan Kompas di lobi---menjadi salah satu pagi terbaik dalam perjalanan saya.
"Kadang kita tak perlu pergi jauh untuk menemukan keajaiban. Cukup buka jendela, dengarkan suara alam, dan biarkan hati ikut berjalan."