Restauradores: Di Antara Patung dan Suara
Begitu keluar, suara demonstrasi menyambut dari arah barat alun-alun. Sejumlah orang membawa spanduk dan megafon, suara mereka berbaur dengan deru mobil dan gumam wisatawan. Tapi ini bukan amarah---melainkan semangat. Di antara mereka, seorang wanita muda membagikan selebaran tentang hak buruh. Saya mengambil satu. Ia berkata cepat, lalu tersenyum kecil saat aku mengangguk gugup.
Gadis itu berbicara cepat dalam bahasa Portugis yang saya tidak mengerti. Hanya senyum dan kemudian saya berlalu.
Demo itu berjalan teratur. Seorang pemain klarinet mengiringinya dengan nada-nada minor yang indah namun sedikit sumbang, seperti menyuarakan keletihan di balik optimisme.
Tepat di tengah plaza berdiri Obelisco dos Restauradores, monumen tinggi dari batu granit kelabu yang dibangun pada 1886 untuk memperingati kemerdekaan Portugal dari penjajahan Spanyol pada 1640. Di bagian dasarnya, dua sosok alegoris dari perunggu berdiri: satu melambangkan Vitria (Kemenangan), satu lagi Liberdade (Kebebasan). Di sisi-sisinya terukir nama-nama pertempuran penting yang menjadi bagian dari sejarah perlawanan rakyat Portugal antara 1640 hingga 1668.
Saya mendekat dan membaca satu per satu: Badajoz, Valena, Ameixial. Nama-nama itu kini sunyi, terukir diam di batu, namun dahulu berdarah. Sebuah kota yang tahu bagaimana menghormati sejarah tanpa harus berteriak.
Di sisi timur plaza berdiri megah Hotel Avenida Palace, dengan faade klasik dan jendela-jendela simetris. Ia tampak seperti bangsawan yang tak lagi muda, tapi masih berdiri tegak dengan penuh martabat. Di seberangnya, Teatro Eden menyembunyikan masa lalunya sebagai bioskop art deco. Kini ia menjadi hotel juga, tapi bentuk luarnya tetap menyimpan kenangan akan dunia hitam-putih, romansa layar lebar, dan malam-malam dengan sorotan cahaya dari proyektor.
Lisboa di area ini seperti tumpukan lapisan sejarah: tidak sepenuhnya tua, tidak sepenuhnya baru. Hanya ada semacam keabadian samar yang berjalan berdampingan dengan langkahmu.
Menuju Sungai: Langkah yang Lurus Tapi Dalam
Saya terus berjalan ke selatan menyusuri melewati Praa Dom Pedro IV (Rossio), Rua Augusta, dan Baixa Pombalina, dan kemudian Avenida 1 de Dezembro.
Kaki lima yang lebar dan teduh. Di bawah rindang pohon, batu-batu calada portuguesa menyusun pola seperti ombak---hitam putih, berulang, dan meditatif. Di sekitar, warga setempat berjalan cepat, sebagian menenteng koper, sebagian hanya menatap ponsel.
Tidak terasa sekitar 15 menit jalan kaki, langkah-langkah berakhir di ruang paling terbuka di kota ini: Praa do Comrcio.