Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Lisboa, Anyelir, dan Timor Leste

30 April 2025   18:51 Diperbarui: 1 Mei 2025   21:58 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

"Kadang sejarah tak menuntut suara keras atau peluru, cukup sebatang bunga anyelir dan seorang kapten yang menolak pertumpahan darah." 

Pagi  itu langit Lisboa seperti berusaha menyembunyikan matahari. Gerimis tipis turun seolah-olah kota ini ingin bicara dengan bisikan, bukan teriakan. Hujan rintik mulai mereda 

Setelah selesai menikmati pastel de Bacalhau, saya kembali bergabung dengan rombongan wisatawan di depan reruntuhan megah Convento do Carmo, gereja Gothic tanpa atap yang telah menjadi saksi diam dari banyak luka dan keajaiban Portugal. Langit Lisbon masih berwarna tembaga pucat. Matahari belum sepenuhnya bangkit dari peraduannya di atas sungai Targus. 

Kami---rombongan kecil dari berbagai negara---melanjutkan jalan-jalan, di bawah lengkung-lengkung batu yang kosong namun bercerita banyak. Inilah kawasan Barrio Alto yang banyak menyimpan sejarah. 

Kemudian langkah kami berlanjut ke Elevador de Santa Justa, lift besi peninggalan abad ke-19 yang menjulang elegan di jantung kota. Dari atas dek observasi, saya melihat kota merah bata terbentang luas. Terlihat jelas Praa do Rossio di kejauhan---alun-alun dengan monumen menjulang dan deretan bangunan simetris yang kini menjadi jantung wisata dan sejarah. 

Lisboa | dokumentasi pribadi
Lisboa | dokumentasi pribadi

Di ketinggian ini, Lisboa tampak seperti buku terbuka. Indah sekaligus penuh misteri. Ia adalah ibukota sebuah negeri yang selama ratusan tahun pernah berjaya menguasai banyak koloni di berbagai pelosok dunia. 

Saya mengikuti arus rombongan menuju ke sebuah gedung yang bernama Quartel do Carmo (Markas Besar Garda Nasional Republik, atau GNR). Letaknya tidak jauh dari Convento do Carmo

Barrio Alto | dokumentasi pribadi
Barrio Alto | dokumentasi pribadi

"Tempat ini sangat bersejarah karena disinilah diktator Marcelo Caetano menyerahkan diri kepada pasukan Revolusi Anyelir yang dipimpin oleh Kapten Salgueiro Maia," jelas Nuno. 

Di sini, pada tanggal 25 April 1974, sejarah Portugal berubah arah. Bukan karena perang, tetapi karena keberanian sekelompok prajurit muda, dan seorang kapten yang kelak diabadikan dalam plakat sederhana: Salgueiro Maia. 

Plakat | dokumentasi pribadi
Plakat | dokumentasi pribadi

Nuno menunjukkan sebuah plakat warna kuning emas yang ada di lantai di depan gedung mirip barak tentar ini. ini adalah plakat penghormatan untuk Kapten Salgueiro Maia, salah satu tokoh paling penting dalam Revolusi Anyelir Portugal. 

A Salgueiro Maia Lembrando o 25 de Abril de 1974 Homenagem da Cidade de Lisboa CML 1992 Artinya: "Untuk Salgueiro Maia Mengenang 25 April 1974 Penghormatan dari Kota Lisboa (Didirikan oleh Dewan Kota Lisbon, 1992.

 "Dia tidak ingin perang saudara," kata pemandu kami, Nuno, sambil menunjuk ke arah barak militer yang kini dijaga oleh dua serdadu dengan baret hijau dan bahu tegak.

 "Kapten Maia berdiri di depan tank, memanggil para jenderal keluar. Bukan dengan teriakan, tapi dengan ketegasan tanpa kekerasan." Nuno terus bercerita panjang lebar tentang revolusi Anyelir atau dalam bahasa Inggris disebut Carnation Revolution itu. Saya melangkah pelan. Pikiran saya terbang ke tanah kelahiran saya--- di mana perlawanan sering kali berujung luka. 

Di sini, di negeri asing ini, saya justru belajar bahwa revolusi bisa terjadi dengan bunga anyelir yang diselipkan di ujung laras senapan. Tanpa darah. Tanpa balas dendam. 

Saya membayangkan suara sepatu tentara menyusuri jalan-jalan ini 50 tahun lalu. Tapi tak ada teriakan. Tak ada ledakan. Hanya bunga anyelir merah yang tumbuh diam-diam di senapan dan balkon. Sejarah terasa sangat dekat di kota ini. Tidak dalam museum, tetapi di jalanan. Dalam plakat yang diinjak orang setiap hari. Dalam reruntuhan gereja tanpa atap.

Dalam sebatang pastel bacalhau yang disantap sambil memandangi atap-atap merah. Dan juga, dalam keheningan senapan yang tak pernah ditembakkan. Di tengah keramaian turis, musik jalanan, dan aroma espresso, saya merasa dituntun pelan-pelan oleh bayang-bayang masa lalu. Lisboa bukan sekadar kota tua yang cantik, tapi juga kota yang berani memilih untuk berubah dengan lembut. 

Tren di Lisboa | dokumentasi pribadi
Tren di Lisboa | dokumentasi pribadi

Tidak terasa, langkah-langkah kecil membawa kami ke Praca Lus de Camoes, alun-alun kecil yang sibuk. Trem-trem kuning menderu pelan. Anak-anak berlarian mengejar merpati. Di bawah patung penyair besar Portugal itu, hidup terasa biasa. Tapi justru di sanalah segala perubahan menemukan makna: saat kehidupan kembali menjadi keseharian yang tak diawasi. Kami duduk di bangku batu. Seorang musisi jalanan memetik gitar. 

Melodi fado merayap pelan di antara lalu-lalang trem. Nuno duduk di sisi kami dan berkata: 

"Anyelir merah yang diselipkan di laras senapan, itu bukan kebetulan. Anyelir adalah bunga murah, dijual oleh para perempuan di pasar. Saat revolusi meletus, mereka berikan bunga itu kepada tentara. Senapan berubah menjadi vas. Dan itulah yang dikenang."

Portugal kini adalah negara demokratis. Tapi tidak semua luka sembuh sepenuhnya. Kolonialisme yang pernah dijalankan, terutama di Angola, Mozambik, dan juga di Timor Timur. Sambil menikmati sepotong Portuguese Egg Tart, saya bertanya tentang Timor Leste. Nuno menatap jauh. 

"Ketika revolusi terjadi, kami melepas banyak jajahan. Tapi Timor... ditinggalkan begitu saja." 

Praca de Louis Camoes | dokumentasi pribadi
Praca de Louis Camoes | dokumentasi pribadi

Aku menoleh, diam. "Indonesia masuk setelah itu. Mungkin karena kekosongan kekuasaan. Mungkin karena kami terlalu lelah menata ulang negeri ini," lanjutnya. Ada getir di nada suaranya. Tapi tak ada tuduhan, hanya penyesalan historis. 

Dia berkata, "Xanana Gusmo pernah berkata: 'Kami tidak membenci. Kami hanya ingin didengar.'" 

Kata-kata itu menggema seperti doa yang belum selesai. Sejarah tak selalu adil. Tapi pengakuan bisa menjadi awal dari pemulihan. Saya tersenyum tipis. Timor Leste kini merdeka, tapi tak bisa dipungkiri bahwa luka kolonialisme tetap berdetak dalam sejarah.

Trem | dokumentasi pribadi
Trem | dokumentasi pribadi

Matahari mulai meninggi malu-malu di balik bukit Alfama. Saya menatap Lisboa yang bersinar redup, kota yang menyimpan kisah revolusi paling damai dalam sejarah dunia. Ada keheningan yang akrak. Seperti doa yang dipanjatkan tanpa suara. 

Di Lisboa, saya belajar bahwa perubahan tidak harus berdarah. Bahwa keberanian bisa tampil dengan bunga, bukan peluru. Dan bahwa napak tilas sejarah bisa terasa lebih lembut daripada yang dibayangkan.

Jejak anyelir itu masih terasa. Bukan hanya di dinding-dinding tua Lisboa, tapi juga di langkah para pejalan yang tak ingin melupakan. 

Lisboa bukan kota yang berteriak. Ia berbisik lewat batu, jalan sempit, dan bunga sederhana. Dan jika kita berjalan cukup pelan, kadang kita bisa mendengarnya berkata: 

"Jangan lupa. Kami pernah memilih bunga, bukan peluru."

 Lisboa, Februari 2024

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun