"Kadang sejarah tak menuntut suara keras atau peluru, cukup sebatang bunga anyelir dan seorang kapten yang menolak pertumpahan darah."
Pagi itu langit Lisboa seperti berusaha menyembunyikan matahari. Gerimis tipis turun seolah-olah kota ini ingin bicara dengan bisikan, bukan teriakan. Hujan rintik mulai mereda
Setelah selesai menikmati pastel de Bacalhau, saya kembali bergabung dengan rombongan wisatawan di depan reruntuhan megah Convento do Carmo, gereja Gothic tanpa atap yang telah menjadi saksi diam dari banyak luka dan keajaiban Portugal. Langit Lisbon masih berwarna tembaga pucat. Matahari belum sepenuhnya bangkit dari peraduannya di atas sungai Targus.
Kami---rombongan kecil dari berbagai negara---melanjutkan jalan-jalan, di bawah lengkung-lengkung batu yang kosong namun bercerita banyak. Inilah kawasan Barrio Alto yang banyak menyimpan sejarah.
Kemudian langkah kami berlanjut ke Elevador de Santa Justa, lift besi peninggalan abad ke-19 yang menjulang elegan di jantung kota. Dari atas dek observasi, saya melihat kota merah bata terbentang luas. Terlihat jelas Praa do Rossio di kejauhan---alun-alun dengan monumen menjulang dan deretan bangunan simetris yang kini menjadi jantung wisata dan sejarah.
Di ketinggian ini, Lisboa tampak seperti buku terbuka. Indah sekaligus penuh misteri. Ia adalah ibukota sebuah negeri yang selama ratusan tahun pernah berjaya menguasai banyak koloni di berbagai pelosok dunia.
Saya mengikuti arus rombongan menuju ke sebuah gedung yang bernama Quartel do Carmo (Markas Besar Garda Nasional Republik, atau GNR). Letaknya tidak jauh dari Convento do Carmo.