"Tempat ini sangat bersejarah karena disinilah diktator Marcelo Caetano menyerahkan diri kepada pasukan Revolusi Anyelir yang dipimpin oleh Kapten Salgueiro Maia," jelas Nuno.
Di sini, pada tanggal 25 April 1974, sejarah Portugal berubah arah. Bukan karena perang, tetapi karena keberanian sekelompok prajurit muda, dan seorang kapten yang kelak diabadikan dalam plakat sederhana: Salgueiro Maia.
Nuno menunjukkan sebuah plakat warna kuning emas yang ada di lantai di depan gedung mirip barak tentar ini. ini adalah plakat penghormatan untuk Kapten Salgueiro Maia, salah satu tokoh paling penting dalam Revolusi Anyelir Portugal.
A Salgueiro Maia Lembrando o 25 de Abril de 1974 Homenagem da Cidade de Lisboa CML 1992 Artinya: "Untuk Salgueiro Maia Mengenang 25 April 1974 Penghormatan dari Kota Lisboa (Didirikan oleh Dewan Kota Lisbon, 1992.
"Dia tidak ingin perang saudara," kata pemandu kami, Nuno, sambil menunjuk ke arah barak militer yang kini dijaga oleh dua serdadu dengan baret hijau dan bahu tegak.
"Kapten Maia berdiri di depan tank, memanggil para jenderal keluar. Bukan dengan teriakan, tapi dengan ketegasan tanpa kekerasan." Nuno terus bercerita panjang lebar tentang revolusi Anyelir atau dalam bahasa Inggris disebut Carnation Revolution itu. Saya melangkah pelan. Pikiran saya terbang ke tanah kelahiran saya--- di mana perlawanan sering kali berujung luka.
Di sini, di negeri asing ini, saya justru belajar bahwa revolusi bisa terjadi dengan bunga anyelir yang diselipkan di ujung laras senapan. Tanpa darah. Tanpa balas dendam.
Saya membayangkan suara sepatu tentara menyusuri jalan-jalan ini 50 tahun lalu. Tapi tak ada teriakan. Tak ada ledakan. Hanya bunga anyelir merah yang tumbuh diam-diam di senapan dan balkon. Sejarah terasa sangat dekat di kota ini. Tidak dalam museum, tetapi di jalanan. Dalam plakat yang diinjak orang setiap hari. Dalam reruntuhan gereja tanpa atap.
Dalam sebatang pastel bacalhau yang disantap sambil memandangi atap-atap merah. Dan juga, dalam keheningan senapan yang tak pernah ditembakkan. Di tengah keramaian turis, musik jalanan, dan aroma espresso, saya merasa dituntun pelan-pelan oleh bayang-bayang masa lalu. Lisboa bukan sekadar kota tua yang cantik, tapi juga kota yang berani memilih untuk berubah dengan lembut.