Hari raya Idul Fitri selalu identik dengan berbagai hidangan khas yang disiapkan dengan penuh cinta dan kerja keras. Namun, jika sekarang saya lebih banyak tinggal menikmati hidangan yang sudah siap saji, dulu ceritanya berbeda. Ada dua kenangan yang melekat di benak saya: membuat ketupat bersama ibu mertua sekitar 35 tahun lalu, dan membantu seorang bibi yang berjualan kue Lebaran saat masih kecil.
Belajar Membuat Ketupat dengan Ibu Mertua
Sekitar 35 tahun lalu, saya pertama kali membantu ibu mertua membuat ketupat. Prosesnya ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Langkah pertama adalah membeli ketupat kosong---anyaman daun kelapa berbentuk kotak yang sudah siap diisi beras. Saya diajarkan untuk mengisi ketupat dengan takaran yang pas, sekitar 70--75 persen dari kapasitasnya. Tidak boleh terlalu penuh, karena nanti nasi bisa mengembang dan membuat ketupat terlalu keras atau bahkan pecah.
Mengisi beras ke dalam ketupat bukan sekadar menuang, tapi harus menggunakan perasaan. Jika kurang, hasilnya bisa lembek; jika terlalu banyak, ketupat akan terlalu padat dan keras. Setelah semua ketupat terisi, saatnya memasak. Di zaman itu, kami masih menggunakan kayu bakar, yang artinya memasak ketupat bisa memakan waktu berjam-jam. Kalau ditanya berapa lama? Bisa 4--5 jam, tergantung besar kecilnya api.
Suka duka dalam proses ini? Tentu ada. Kalau hasilnya bagus, rasanya puas sekali melihat ketupat matang sempurna, padat tapi tidak keras, dengan aroma khas daun kelapa yang harum. Tapi ada kalanya ketupat gagal---entah karena anyamannya bocor, berasnya terlalu penuh, atau malah gosong karena api kayu bakar tidak bisa dikontrol seperti kompor gas zaman sekarang.
Kenangan lain yang tak kalah seru adalah saat masih kecil membantu seorang bibi yang berjualan kue Lebaran. Karena beliau berjualan, kuenya bermacam-macam, mulai dari nastar, kastengel, putri salju, hingga kue lapis legit. Sebagai anak kecil, saya tidak diberi tugas sulit, tapi tetap bisa ikut serta. Saya membantu mengocok adonan, menyiapkan loyang, dan membantu memanggang kue.
Dari sekian banyak kue, yang paling berkesan bagi saya adalah kue lapis legit. Membuatnya benar-benar butuh kesabaran. Setiap lapisan adonan harus dituang tipis-tipis, dipanggang sebentar, lalu dituang lagi untuk lapisan berikutnya. Begitu terus sampai puluhan lapis! Prosesnya lama, tapi hasilnya luar biasa. Wangi mentega dan rempah-rempah dari kue lapis legit yang baru matang itu sesuatu yang tidak terlupakan.
Dari Proses Rumit ke Hidangan yang Siap Dinikmati
Dua pengalaman ini, membuat ketupat bersama ibu mertua dan membantu membuat kue Lebaran bersama bibi, terjadi di dua masa yang berbeda, tapi keduanya punya kesan yang mendalam. Saat itu, Idul Fitri benar-benar terasa karena saya ikut terlibat dalam persiapannya, merasakan suka duka proses memasak, dan menikmati hasilnya bersama keluarga.