Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Zaman Seperti Ini, "Sebenarnya Harta Sudah Bukan Sekedar Ilmu, Melainkan Iman"

24 Juni 2020   15:33 Diperbarui: 24 Juni 2020   15:39 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selanjutnya, Ya Dzal Wabal dilantunkan bersama-sama diiringi Pakdhe-Pakdhe Kiai Kanjeng. Semua yang hadir tampak serius memohon wirid pembalasan tersebut. Dalam sudut pandang tertentu, Allah juga Maha Pembenci. Membenci orang-orang tertentu dengan perilaku dalam regulasi tertentu, bahwa Allah akan Membalas, dengan hukuman yang sangat dahsyat dalam tingkatan keadlilan yang lebih spesifik. Oleh karena itu, keadaan ini menurut Mbah Nun juga akan menguji kesabaran dan ketabahan yang diantara kedua sifat tersebut merupakan jodoh bagi orang bertakwa.

Kebenaran maiyah sedang diuji oleh keadaan global. Ini pun baru pada tahap babak penyisihan dan butuh beberapa waktu agar sejumlah hal dapat kita klaim. "Ojo rerasanan satu sama lain. Apakah dari kalian suka memakan bangkai teman kalian sendiri?" kata Mbah Nun mencoba menggambarkan dunia medsos yang dipenuhi dengan kesenangan menghancurkan orang lain. Sedangkan kita tidak bisa mengandalkan segala media untuk mendapatkan kebenaran, karena semua difilter oleh subjektivitas politik.

Mbah Nun kemudian memberikan pandangan bahwasanya apa yang dilakukan para penguasa negeri ini sudah pada taraf menghancurkan dengan merampok masa depan anak cucu kita sedemikian rupa. Ibarat anak kucing yang sedang dilempar di tengah hutan yang penuh dengan serigala, dengan segala aturannya yang dibuat sedemikian rupa bukan demi kepentingan bersama.

Menabung Dendam Kepada Diri Sendiri -- Restart atau Force Shutdown

Pak Toto yang juga membersamai acara pada malam hari itu sedikit menceritakan tentang bagaimana teman-teman Maiyah tetap berproses dan saling menjaga serta mengamankan di lingkungannya masing-masing. Dengan modal yang minim atau bahkan hanya bermodalkan Bismillah, Jamaah Maiyah sanggup melakukan banyak hal. Corona menurut Pak Toto semacam pupuk alam yang mencoba membangkitkan semangat pergerakan tersebut. Semangat teman-teman mendapat apresiasi yang luar biasa dari Pak Toto.

 Mbah Nun mencoba memberikan respon atas apa yang telah dipaparkan oleh Pak toto. Menurut Mbah Nun, saat ini kita sedang membutuhkan proses restart. Memulai kembali. Baik dari membangun pemahaman, memfokuskan cara pandang, tidak kehilangan peran Tuhan dalam setiap proses berfikir. Karena segala pelaku utama dalam keadaan seperti ini tetaplah Allah. Mbah Nun kemudian mengingatkan, "daripada di-restart oleh dunia, ayo kita lakukan sendiri."

Setidaknya ada 4 level walayah (pelaku) dalam restarting yang digambarkan Mbah Nun malam itu, pertama orang yang panguripane ngemis; kedua, orang yang memegang prinsip min haitsu la yahtasib diimbangi dengan ibadah yang rajin; ketiga, orang dengan tipe Siti Maryam, yang disediakan langsung oleh Malaikat segala kebutuhannya; Dan keempat, orang bertipe Nabi Khidir as, orang yang tinggal "kun fayakun" saja.

Mungkin di zaman yang serba maju ini, nilai-nilai seperti itu akan lebih banyak disepelekan daripada menjadi sesuatu yang diperhatikan. Sedang dalam perjalanan hidup, kita membutuhkan kelengkapan kualititaf sebagai penyeimbang, contohnya orang tidak hanya butuh sehat, tapi juga 'afiat. Tidak hanya tobat, namun ada nasuha. Tidak hanya baldatun thoyyibatun, namun dilengkapi dengan wa Rabbun Ghaffur. Lagu Duh Gusti yang mengalami 1 perubahan kata dari "kaleresan" menjadi "kasarasan" menjadi penutup tayangan Mocopat Syafaat part 1 pada malam hari itu.

Saya dan teman-teman beruntung, karena malam hari itu kita mendapatkan manfaat dari kemudahan akses komunikasi, kita dapat berkumpul dan dipertemukan dengan mempertegas cinta di jalan yang sama, dan dapat mengobati kerinduan kita atas kehadiran Mbah Nun. Atau sekurang-kurangnya, kami harus sanggup menjaga konsistensi kata-kata yang tertulis untuk dijadikan kesepakatan setidaknya dengan siapa dirinya sambung komunikasi. Karena yang terjadi, semakin mudah akses komunikasi, justru makin banyak manusia semakin menyepelekan waktu dan sebuah pertemuan. Atau mungkin lupa, karena tersibukkan oleh kesenangan yang lain di media alat komunikasinya.

Bagaimana akan me-restart spiritualnya, jika kebiasaan-kebiasaan kecil seperti itu sering disepelekan? Bagaimana akan mengubah kekuasaan yang katanya "dholim" dan penuh ketidakadilan? Bagaimana caranya kamu bisa mengungkapkan cinta, jika engkau enggan berkenalan dengan luka? Bagaimana bisa merasa mesra dengan Tuhan, sedangkan hanya kecerdikan merangkai kata yang engkau tampilkan sebagai status demi menarik yang bukan diri-Nya?

Kalau memang begitu, wajar jika Simbah pernah bertanya, "tenan po wes siap meh arep ngrubah bangsa iki? Ndara ngko anane malah mung nyusahke... " Jadi sebenarnya kalau kita akan me-restart sesuatu, yang pertama kali diidentifikasi masalahnya, sesuatu yang ada di luar diri kita atau yang justru tersembunyi di dalam diri kita? Kamu akan restart atau diam-diam menabung dendam kepada diri sendiri dengan meng-klik tombol force shutdown.

Magelang, 18 Juni 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun