Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meski Retak, "Masa Depan Indonesia Tidaklah Gelap-Gelap Amat"

10 Juli 2019   23:33 Diperbarui: 10 Juli 2019   23:55 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bukankah kemungkinan yang paling logis adalah pemimpin meminta maaf kepada rakyatnya? Tanya Mbah Nun kepada jamaah. Tapi tidak usah terlalu memikirkan hal tersebut. Mbah Nun hanya berharap agar setiap jamaah memiliki kemandirian berfikir, sanggup menata hati dan pikirannya. "Engkau tidak akan masuk surga dengan amalmu, kecuali dengan RahmatKu." Sepenggal ayat yang disampaikan Simbah tersebut setidaknya menjadi gambaran yang bisa menjadi pondasi kita dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

Sesungguhnya apa dalam menjalani hidup ini, banyak sekali hal yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh Gusti Allah. Entah itu karena hijab-hijab indera keduniawiaan yang tak bisa lepas dari sesuatu yang diinginkannya.

Tapi, Simbah hanya berpesan bahwa hidup adalah keterbatasan, dan keselamatan dalam hidup itu adalah ketika kita mampu untuk me-manage batas-batas tersebut. Berangkat dari menyadari batas atas diri kita sendiri. Disini muhasabah diri sangat penting guna memutuskan dengan batas atau limit yang dimiliki, tanggung jawab seperti apa yang akan kita ambil.

Tapi tidak sedikit pula bahwa kita memang sengaja dipojokkan oleh batas-batas. Sehingga mau tidak mau, kita mesti mendobrak batas kita sendiri untuk mencapai level yang berikutnya. Karena kalau tidak dalam keadaan terpojok, naluri manusia masih berada pada keamanan untuk dirinya sendiri.

Kurang lebih, pada saat tengah malam, keempat kelompok tadi diberikan kesempatan untuk menyatakan hasil diskusinya. Semuanya menggambarkan jika perahu retak yang dimaksud adalah negeri ini. Selain itu, mengapa perahu? Bukan kapal atau yang lainnya?

Di sini perbedaan pendapat mulai ada. Salah satunya yang menyatukan jika perahu lebih tepat karena sesuai dengan kebudayaan nelayan dan kondisi geografis Indonesia. Sementara menyeruak lautan itu berarti kita harus hidup mandiri untuk berdikari. Sebisa mungkin tidak bergantung pada orang lain, bahkan pada penguasa.

Pak Tanto Mendut kali ini diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapannya mengenai 'Perahu Retak' tersebut. Dengan gaya penyampain bahasa 'nyentrik' beliau yang khas, terselip makna yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah ketika beliau menanggapi tentang kebenaran. Kebenaran itu sendiri menurut beliau adalah sesuatu yang agak rumit karena mayoritas orang saat ini tidak serius berbicara tentang kebenaran itu sendiri, kecuali kalau bukan karena mencari kehormatan.

Jaman sekarang banyak sekali orang yang gila hormat, bahkan sekarang telah menyebar di kalangan agama. Tidak hanya di kalangan politik saja. Akibatnya menurut beliau adalah orang sekarang jadi mudah untuk digiring ke mana saja

Untuk memahami atau merespon apa yang disampaikan oleh Pak Tanto, menurut Simbah memerlukan tahapan metode pembelajaran tertentu. Setidaknya malam hari itu Mbah Nun mengenalkan 4 tahapan. Pertama, tadris (majelisnya bernama Madrasah), itu pembelajaran linier pada batas epistimologi. Kedua, ta'lim, itu pembelajaran yang lebih mendalam, sampai pada fungsi dan isinya. Ketiga, ta'rifiyah, yaitu pembelajaran yang lebih tajam mendalam. Keempat, ta'dibiyah, yaitu pembelajaran yang sudah sampai pada adab.

Untuk lebih mudah memahaminya, Mbah Nun memberikan contoh garis, bidang, dan bulatan. Ta'rifiyah itu sendiri apabila kita sudah sampai pada bulatan. Sementara, ta'dibiyah itu sudah menyeluruh (jangkep) sampai pada Rahmatan Lil 'Alamin. Dalam ta'dibiyah semua yang sesuai pada tempat dan perspektifnya akan menjadi serba indah. Nah, apabila kita mamu merespon apa yang disampaikan oleh Pak Tanto sebagai kemesraan, setidaknya kita meski mecapai tahap ta'rifiyah.

Pakdhe Herman memiliki cara pandang tersendiri dalam memandang 'Perahu Retak'. Perahu itu ternyata tidak hanya retak tapi sudah pecah berkeping keping. Akan tetapi, orang-orang zaman sekarang sudah merasa 'mampu' menahkodai pecahan itu. Dari situ Pakdhe juga mengkolerasikan makna tersebut dengan nilai kalau orang-orang zaman dahulu masih memegang prinsip 'waton obah mesti mamah'. Asalkan kita mau bergerak pasti ada upah atas usaha kita tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun