Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Meski Retak, "Masa Depan Indonesia Tidaklah Gelap-Gelap Amat"

10 Juli 2019   23:33 Diperbarui: 10 Juli 2019   23:55 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Datang ke Mocopat Syafaat itu seperti mendapatkan kehangatan lain yang berbeda dengan hangatnya rumah. Semua yang berkumpul disini memiliki cerita perjalanannya sendiri. Dari yang pertama kali hadir sampai yang sudah puluhan tahun menghadiri Mocopat Syafaat.

Bermacam-macam cerita dari semangat yang masih enerjik dan prima karena menemukan suasana baru yang dapat mengisi kekosongan rindu akan sesuatu yang akhirnya terpenuhi. Atau proses benturan-benturan yang akhirnya menjadikannya hanya sesekali saja mengikuti acara ini. Dan tidak sedikit juga yang sudah istiqamah karena telah mengalami pasang-surut ahwal menghadiri Mocopat Syafaat. 

Malam hari ini, para jamaah sudah banyak yang datang lebih awal setelah libur beberapa saat setelah lebaran. Rasa rindu seolah sudah terlalu lama mereka tahan setelah merasakan hingar bingar atau kemegahan hari raya idul fitri.

Layaknya sebuah pengajian pada umumnya, lantunan tadarus oleh Mas Ramli menjadi awal dan menyambut jamaah yang terus berdatangan. Mungkin saja, pohon yang berada di depan warung kopi itu ikut menari memberikan ucapan selamat datang dengan caranya.

Mas Helmi yang maenjadi moderator sedikit membeberkan muqodimah tentang apa yang akan menjadi topik bahasan malam hari ini. Tentang pengemberaan Mbah Nun pada masa lalu yang tak lepas dari ruang intelektualitas maupun kebudayaan. Salah satu yang menjadi topik utama pembahasan malam hari ini adalah mempelajari kolaborasi lagu Perahu Retak yang dibawakan oleh Franky Siahilatua.

Setelah Kyai Kanjeng dan para jamaah menyanyikan lagu tersebut, segera dibentuk 4 kelompok untuk workshop pembelajaran makna dari 'Perahu Retak'. Sembari memberikan waktu kelompok-kelompok tersebut berdiskusi, Pak Musthofa yang beberapa acara belakangan ini absen karena masalah kesehatan, alhamdulillah sudah sehat dan kembali membersamai para jamaah. Setidaknya akhir malam nanti akan ada Puisi Mbah Mus yang sudah menjadi ciri dari tiap kehadiran beliau.


Pak Mus sedikit menjelaskan bagaimana pada masa itu, Persada studi klub atau wadah perkumpulan para seniman Malioboro, menurut beliau adalah pelopor pertama musikalisasi puisi. Bahkan Artis sekelas Ebiet G. Ade merupakan salah satu teman Cak Nun pada waktu itu.

Lalu, dalam jalanan Malioboro itulah Mbah Nun bertemu dengan salah seorang yang dianggapnya sebagai guru, yaitu Umbu Landu Paranggi. Pak Umbu ini yang menjabat sebagai 'Presiden Malioboro' kala itu, tentunya memiliki pengaruh yang tidak sedikit dalam kehidupan dan cara pandang Mbah Nun, baik sebagai seorang penulis maupun budayawan.

Sekitar pukul 11.00, Mbah Nun beserta rombongan yang lain mulai menaiki panggung. Apa yang menjadi bahasan pertama Mbah Nun di atas panggung adalah sebuah konsep tentang Halal Bi Halal. Dimana halal bi halal sendiri sesungguhnya adalah sesuatu yang tidak ada dalam tradisi Arab, bahkan pada masa Rasulullah sekalipun. 

Meski begitu, Halal Bi Halal sendiri pada awalnya diprakarsai oleh Bung Karno dan K.H. Wachab Hasbullah, merupakan suatu budaya yang hanya dikenal di Indonesia dan maksudnya baik. Karena untuk wadah silaturahmi para pemimpin di Indonesia dengan tujuan mengurangi perselisihan di antara mereka.

Budaya saling memaafkan tersebut menurut Mbah Nun jika mesti dalam kondisi negara saat ini, antara presiden dan rakyatnya, mana yang semestinya meminta maaf? Mana yang memiliki potensi salah lebih besar? Seharusnya siapa mendatangi siapa? Tapi yang terjadi justru sebaliknya, dalam framing Open House, justru rakyat-lah yang datang kepada pemimpin untuk meminta maaf.

"Bukankah kemungkinan yang paling logis adalah pemimpin meminta maaf kepada rakyatnya? Tanya Mbah Nun kepada jamaah. Tapi tidak usah terlalu memikirkan hal tersebut. Mbah Nun hanya berharap agar setiap jamaah memiliki kemandirian berfikir, sanggup menata hati dan pikirannya. "Engkau tidak akan masuk surga dengan amalmu, kecuali dengan RahmatKu." Sepenggal ayat yang disampaikan Simbah tersebut setidaknya menjadi gambaran yang bisa menjadi pondasi kita dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

Sesungguhnya apa dalam menjalani hidup ini, banyak sekali hal yang berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh Gusti Allah. Entah itu karena hijab-hijab indera keduniawiaan yang tak bisa lepas dari sesuatu yang diinginkannya.

Tapi, Simbah hanya berpesan bahwa hidup adalah keterbatasan, dan keselamatan dalam hidup itu adalah ketika kita mampu untuk me-manage batas-batas tersebut. Berangkat dari menyadari batas atas diri kita sendiri. Disini muhasabah diri sangat penting guna memutuskan dengan batas atau limit yang dimiliki, tanggung jawab seperti apa yang akan kita ambil.

Tapi tidak sedikit pula bahwa kita memang sengaja dipojokkan oleh batas-batas. Sehingga mau tidak mau, kita mesti mendobrak batas kita sendiri untuk mencapai level yang berikutnya. Karena kalau tidak dalam keadaan terpojok, naluri manusia masih berada pada keamanan untuk dirinya sendiri.

Kurang lebih, pada saat tengah malam, keempat kelompok tadi diberikan kesempatan untuk menyatakan hasil diskusinya. Semuanya menggambarkan jika perahu retak yang dimaksud adalah negeri ini. Selain itu, mengapa perahu? Bukan kapal atau yang lainnya?

Di sini perbedaan pendapat mulai ada. Salah satunya yang menyatukan jika perahu lebih tepat karena sesuai dengan kebudayaan nelayan dan kondisi geografis Indonesia. Sementara menyeruak lautan itu berarti kita harus hidup mandiri untuk berdikari. Sebisa mungkin tidak bergantung pada orang lain, bahkan pada penguasa.

Pak Tanto Mendut kali ini diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapannya mengenai 'Perahu Retak' tersebut. Dengan gaya penyampain bahasa 'nyentrik' beliau yang khas, terselip makna yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah ketika beliau menanggapi tentang kebenaran. Kebenaran itu sendiri menurut beliau adalah sesuatu yang agak rumit karena mayoritas orang saat ini tidak serius berbicara tentang kebenaran itu sendiri, kecuali kalau bukan karena mencari kehormatan.

Jaman sekarang banyak sekali orang yang gila hormat, bahkan sekarang telah menyebar di kalangan agama. Tidak hanya di kalangan politik saja. Akibatnya menurut beliau adalah orang sekarang jadi mudah untuk digiring ke mana saja

Untuk memahami atau merespon apa yang disampaikan oleh Pak Tanto, menurut Simbah memerlukan tahapan metode pembelajaran tertentu. Setidaknya malam hari itu Mbah Nun mengenalkan 4 tahapan. Pertama, tadris (majelisnya bernama Madrasah), itu pembelajaran linier pada batas epistimologi. Kedua, ta'lim, itu pembelajaran yang lebih mendalam, sampai pada fungsi dan isinya. Ketiga, ta'rifiyah, yaitu pembelajaran yang lebih tajam mendalam. Keempat, ta'dibiyah, yaitu pembelajaran yang sudah sampai pada adab.

Untuk lebih mudah memahaminya, Mbah Nun memberikan contoh garis, bidang, dan bulatan. Ta'rifiyah itu sendiri apabila kita sudah sampai pada bulatan. Sementara, ta'dibiyah itu sudah menyeluruh (jangkep) sampai pada Rahmatan Lil 'Alamin. Dalam ta'dibiyah semua yang sesuai pada tempat dan perspektifnya akan menjadi serba indah. Nah, apabila kita mamu merespon apa yang disampaikan oleh Pak Tanto sebagai kemesraan, setidaknya kita meski mecapai tahap ta'rifiyah.

Pakdhe Herman memiliki cara pandang tersendiri dalam memandang 'Perahu Retak'. Perahu itu ternyata tidak hanya retak tapi sudah pecah berkeping keping. Akan tetapi, orang-orang zaman sekarang sudah merasa 'mampu' menahkodai pecahan itu. Dari situ Pakdhe juga mengkolerasikan makna tersebut dengan nilai kalau orang-orang zaman dahulu masih memegang prinsip 'waton obah mesti mamah'. Asalkan kita mau bergerak pasti ada upah atas usaha kita tersebut.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 03.00. kerinduan suasana sinau bareng ternyata membawa kita melesat terlalu cepat hingga waktu menjadi tak terasa berlalu. Namun, menuju akhir acara ini. Hiburan dari Sang Maestro puisi akhirnya bisa dinikmati setelah absen yang cukup lama. Dengan judulnya "Bayang-Bayang Bergerak", kebahagiaan menikmati puisi menjelang fajar menjadi sesuatu yang baru. Dan untuk bahagia, puisi tidak selalu tentang senja.

Yang terakhir adalah bagiannya Mas Sabrang untuk ikut memberikan respon terhadap apa yang telah dibahas. Mas Sabrang mengibaratkan apa yang dilakukan oleh Simbah merupakan suatu trigger. Layaknya sepeda, jika kayuh sepedanya sudah berjalan, yang perlu dijaga adalah keseimbangan agar tidak jatuh. Kalau sudah dapat menjaga, masa depan Indonesia menurut Mas Sabrang tidaklah geap-gelap amat. Meskipun perahunya retak.

Sebelum acara ditutup, Simbah mengutarakan kecemasannya setelah kembali berkumpul pada malam hari ini. "Di Indonesia ini terdapat 2 gelombang, yaitu gelombang atas dan gelombang bawah. Sepertinya yang goyah adalah gelombang atas dan saya merasa cemas." Lalu, Mbah Nun sedikit melanjutkan, "kecemasan saya hanya satu. Orang-orang terjebak kecemasan atas materi, cemas karena ingin mendapatkan maupun cemas kehilangan." Acara pun dipungkasi dengan sholawat dan do'a bersama.

Kasihan, 18 Juni 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun