Mohon tunggu...
Taslim Buldani
Taslim Buldani Mohon Tunggu... Administrasi - Pustakawan di Hiswara Bunjamin Tandjung

Riang Gembira Penuh Suka Cita

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Yuk Adopsi Sustainability Mindset Demi Masa Depan Lingkungan Sustainable

24 Januari 2024   10:38 Diperbarui: 24 Januari 2024   10:47 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam keseharian, mungkin masih banyak diantara kita yang mempraktekan perilaku boros energi. Misalnya membiarkan TV menyala padahal tidak ditonton, membiarkan AC menyala di ruangan yang kosong, menunggu di parkiran dengan tetap menyalakan mesin mobil, atau pergi ke minimarket menggunakan motor padahal jaraknya tidak jauh dan tidak sedang diburu waktu.

Perilaku boros energi tidak sejalan dengan semangat lingkungan lestari. Ditengah isu krisis energi dan perubahan iklim, mindset atau pola pikir kolektif yang mengarah pada pembentukan perilaku hemat energi penting untuk dibangun.

Sudah saatnya kita mengadopsi sustainability mindset atau pola pikir berkelanjutan dalam upaya menata kembali lingkungan sustainable atau lingkungan berkelanjutan. Masa depan lingkungan generasi yang akan datang sangat bergantung pada mindset generasi saat ini.

Dalam artikelnya berjudul Sustainability Mindset, Amanda Katili Niode, Ph.D mendefinisikan sustainability mindset sebagai cara berpikir dan keberadaan tertentu, di mana seseorang atau kelompok secara sadar merefleksikan nilai-nilai pribadi mereka, dengan maksud untuk merespons melalui cara terbaik dan terhubung dengan kompleksitas sosial dan lingkungan (watyutink.com).

Mengapa adopsi sustainability mindset penting?


Jawabannya adalah karena kondisi lingkungan Indonesia dan dunia sedang tidak baik-baik saja. Masyarakat dunia sedang menghadapi ancaman perubahan iklim akibat pemanasan global.

Kebakaran hutan, badai yang lebih kuat dan destruktif, kekeringan ekstrim, musim yang tidak teratur, gagal panen, krisis air, adalah sederet fenomena dampak perubahan iklim. Tak sekedar merusak infrastruktur dan gedung, kelangsungan hidup umat manusia pun terancam.

Perubahan iklim pada dasarnya adalah "ganjaran" akibat ulah manusia sendiri. Konsumsi energi fosil secara masif berdampak signifikan pada peningkatan suhu bumi dari waktu ke waktu.

Sejak lama batubara dimanfaatkan secara luas sebagai sumber pembangkit tenaga listrik untuk kebutuhan manusia. Sementara itu jutaan atau mungkin miliaran kendaraan memanfaatkan minyak bumi sebagai bahan bakar.

Manfaatnya tentu sudah kita rasakan. Perkambangan peradaban manusia hingga saat ini, salah satunya ditopang oleh pemanfaatan energi.

Ketersediaan energi yang memadai membuat orang dapat mengakses pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan, teknologi, hiburan, transportasi, dll. Energi adalah jembatan peradaban manusia.

Sayangnya, pemanfaatan energi fosil juga menghasilkan emisi gas rumah kaca berupa Karbon Dioksida (CO2) dan Metana (CH4). Pelepasan kedua unsur ini ke udara memicu pemanasan global.

Menurut data Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), tingkat konsentrasi CO2 di atmosfer bumi sudah mencapai rata-rata 417,6 part per million (ppm) pada 17 Mei 2022. Naik 50% dibanding awal era industri tahun 1750 (Katadata.co.id).

Sementara itu International Energy Agency (IEA) memperkirakan emisi gas metana dari sektor energi global mencapai 133,3 juta ton pada 2022. Emisi tersebut meningkat dibanding 2021, sekaligus menjadi rekor tertinggi kedua dalam sekitar dua dekade terakhir (Katadata.co.id).

Konsentrasi CO2 yang berlebih mengakibatkan sebagian energi matahari yang dipantulkan bumi ke atmosfer dalam bentuk radiasi infra merah menjadi terhambat. Alih-alih lepas ke atmosfer, radiasi tersebut dipantulkan CO2 kembali ke bumi.

Sedangkan Metana dituding sebagai perusak lapisan ozon di stratosfer. Lapisan ozon berperan mereduksi sinar Ultra Violet B (UV-B) matahari yang berbahaya bagi bumi. Karena lapisan ozon, hanya 2%-3% UV-B yang sampai ke bumi.

Seiring berjalannya waktu, suhu bumi pun meningkat. Fenomena ini dimaknai secara sederhana sebagai efek rumah kaca dan memicu pemanasan global.

Memasuki awal tahun 2024, Copernicus Climate Change Service (C3S)-Uni Eropa merilis laporan yang berjudul "THE 2023 ANNUAL CLIMATE SUMMARY: Global Climate Highlights 2023. Laporan itu memamaparkan fenomena udara panas tahun 2023 yang terukur sebagai yang paling panas selama 100.000 tahun (copernicus.eu).

Saking panasnya, levelnya sudah menyentuh kenaikan suhu sebesar 1.5 derajat celsius diatas suhu era pra industrialisasi  (1850-1900). Bahkan di bulan November tercatat melebihi 2 derajat celsius selama dua hari.

Sebagai informasi, kenaikan suhu 1,5 hingga 2 derajat celsius di atas tingkat era praindustrialisasi adalah kenaikan maksimal yang disepakati masyarakat internasional dalam menanggulangi perubahan iklim. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim yang ditandatangani tahun 2015 silam.

Aksi Nyata 

Pada tataran kebijakan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai macam peraturan. Selain mengadopsi Kesepakatan Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, kebijakan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional juga tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021.

Sedangkan pada tataran implementasi, adopsi atas sustainability mindset sebagai mindset kolektif perlu terus diupayakan. Masyarakat harus terus diedukasi tentang pentingnya peran aktif semua kalangan dalam mewujudkan lingkungan berkelanjutan.

Sebagai bentuk aksi nyata, banyak aktivitas yang bisa dikerjakan. Beberapa tips dari pegiat lingkungan di berbagai platform media bisa dijadikan rujukan. 

Pertama, menghindari perilaku boros energi. Setiap satuan watt energi yang dikonsumsi, akan menghasilkan emisi karbon yang merusak lingkungan.   

Kedua, memilah sampah kertas dan plastik yang masih memiliki nilai jual untuk selanjutnya di sedekahkan kepada pemulung secara berkala. Selain menjaga lingkungan, dengan konsep sedekah mengolah sampah juga bernilai ekonomi dan ibadah. 

Ketiga, memilah sampah organik seperti kulit pisang, potongan sayur, kulit telur dan disimpan dalam tong khusus. Kegiatan ini menghasilkan pupuk cair yang bisa dimanfaatkan untuk perawatan tanaman. 

Keempat, masih terkait sampah, mendaur ulang sisa makan dengan memasukannya dalam lubang biopori dan membuat eco-enzym. Beruntung bagi yang dilingkungannya ada peternak magot, sampah sisa makanan bisa dimanfaatkan sebagai bahan makanan magot.

Tempat penampungan sampah adalah salah satu sumber gas metana (CH4) yang merusak ozon. Mengutip Kompas.id, gas metana yang dihasilkan oleh 12 juta ton sampah makanan di Indonesia setara dengan emisi gas karbondioksida CO2 yang dihasilkan 5,45 juta mobil dalam setahun.

Kelima, beralih menggunakan angkutan umum. Saat ini pilihan angkutan umum bagi warga Jabodetabek semakin berfariasi. 

Mempertimbangkan akses dan biaya terbaik, sekitar 6 bulan ini kami beralih menggunakan Commuter Line yang berbasis listrik. Sebelumnya kami setiap hari mengendarai mobil ke kantor yang jaraknya 56 Km pulang-pergi. 

Jika rata-rata konsumsi BBM 15 Km/ liter, dalam 1 hari berarti dihabiskan 3.7 liter BBM. Jika ditotal selama satu bulan BBM yang dikonsumsi sebanyak 75 liter.

Sebagai gambaran, emisi karbon 1 liter BBM adalah 2.4 kg, berarti sudah 6 bulan ini kami mengurangi emisi karbon sebanyak 1.080 kilogram.

Keenam, beralih ke kendaraan zero emision atau kendaraan listrik. Apalagi saat ini pemerintah masih menggulirkan program subsidi untuk kendaraan listrik.

Berdasarkan pengalaman selama 6 bulan menggunakan motor listrik dengan sistem swap baterai, biaya yang dikeluarkan untuk top up sebesar Rp70.000 untuk total jarak 400km.  

Jika dibandingkan dengan motor konvensional dengan asumsi konsumsi BBM-nya 60 km/ liter, maka untuk menempuh jarak 400 km dibutuhkan BBM sebanyak +7 liter. Karena kami biasa menggunakan BBM RON 92 dengan harga rata-rata Rp14.000, potensi pengeluaran sebesar Rp98.000.

Jika saat ini odometer menunjukan angka 1.500 km, berarti selama 6 bulan memakai motor listrik, total BBM yang dihemat sebanyak 25 liter.

Penggunaan kendaraan listrik jelas lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan BBM. Dari perhitungan 1 liter BBM sama dengan 1,2 kWh listrik. Emisi karbon 1 liter BBM itu 2,4 kilogram. Sedangkan 1 kWh listrik pada sistem kelistrikan di Indonesia yang masih ditopang oleh PLTU, emisinya sekitar 0,85 kg CO2e. Artinya kalau 1,2 kWh, emisinya sekitar 1,1 kg CO2e.(PLN.co.id)  

Oleh karenanya cukup beralasn jika Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam sebuah kesempatan menegaskan bahwa kendaraan listrik adalah bagian penting mitigasi perubahan iklim (ANTARA, 18/01/2024). 

***

Jika berbicara mengenai semangat perubahan menuju ke yang lebih baik, selalu teringat filosofi 3M dari Aa Gym. Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang terkecil, Mulai dari sekarang.

Keputusannya sekarang ada pada kita, apakah ingin mewujudkan mimpi mewariskan lingkungan sustainable bagi generasi yang akan datang? Jika ya, saatnya kita mengadopsi sustainability mindset dan mengaktualisasikannya dalam aktivitas harian kita.

Dalam Alquran surat Ar-ra'd, ayat 11 Allah SWT berfirman:

 اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوۡا مَا بِاَنۡفُسِهِمۡ‌ؕ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri    

Ayo kita adopsi sustainability mindset demi masa depan lingkungan yang sustainable (Tasbul).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun