Mohon tunggu...
Taslim Buldani
Taslim Buldani Mohon Tunggu... Administrasi - Pustakawan di Hiswara Bunjamin Tandjung

Riang Gembira Penuh Suka Cita

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Yuk Adopsi Sustainability Mindset Demi Masa Depan Lingkungan Sustainable

24 Januari 2024   10:38 Diperbarui: 24 Januari 2024   10:47 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketersediaan energi yang memadai membuat orang dapat mengakses pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan, teknologi, hiburan, transportasi, dll. Energi adalah jembatan peradaban manusia.

Sayangnya, pemanfaatan energi fosil juga menghasilkan emisi gas rumah kaca berupa Karbon Dioksida (CO2) dan Metana (CH4). Pelepasan kedua unsur ini ke udara memicu pemanasan global.

Menurut data Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), tingkat konsentrasi CO2 di atmosfer bumi sudah mencapai rata-rata 417,6 part per million (ppm) pada 17 Mei 2022. Naik 50% dibanding awal era industri tahun 1750 (Katadata.co.id).

Sementara itu International Energy Agency (IEA) memperkirakan emisi gas metana dari sektor energi global mencapai 133,3 juta ton pada 2022. Emisi tersebut meningkat dibanding 2021, sekaligus menjadi rekor tertinggi kedua dalam sekitar dua dekade terakhir (Katadata.co.id).

Konsentrasi CO2 yang berlebih mengakibatkan sebagian energi matahari yang dipantulkan bumi ke atmosfer dalam bentuk radiasi infra merah menjadi terhambat. Alih-alih lepas ke atmosfer, radiasi tersebut dipantulkan CO2 kembali ke bumi.

Sedangkan Metana dituding sebagai perusak lapisan ozon di stratosfer. Lapisan ozon berperan mereduksi sinar Ultra Violet B (UV-B) matahari yang berbahaya bagi bumi. Karena lapisan ozon, hanya 2%-3% UV-B yang sampai ke bumi.


Seiring berjalannya waktu, suhu bumi pun meningkat. Fenomena ini dimaknai secara sederhana sebagai efek rumah kaca dan memicu pemanasan global.

Memasuki awal tahun 2024, Copernicus Climate Change Service (C3S)-Uni Eropa merilis laporan yang berjudul "THE 2023 ANNUAL CLIMATE SUMMARY: Global Climate Highlights 2023. Laporan itu memamaparkan fenomena udara panas tahun 2023 yang terukur sebagai yang paling panas selama 100.000 tahun (copernicus.eu).

Saking panasnya, levelnya sudah menyentuh kenaikan suhu sebesar 1.5 derajat celsius diatas suhu era pra industrialisasi  (1850-1900). Bahkan di bulan November tercatat melebihi 2 derajat celsius selama dua hari.

Sebagai informasi, kenaikan suhu 1,5 hingga 2 derajat celsius di atas tingkat era praindustrialisasi adalah kenaikan maksimal yang disepakati masyarakat internasional dalam menanggulangi perubahan iklim. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim yang ditandatangani tahun 2015 silam.

Aksi Nyata 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun