Mohon tunggu...
Tarisha Rizkya Luvy
Tarisha Rizkya Luvy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi

Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Bermakna dari Sudut Pandang Dewi Sartika: Pandangan tentangg Konsep, Objek dan Tujuan Pendidikan

27 November 2023   10:11 Diperbarui: 27 November 2023   10:17 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

"Pendidikan Bermakna" dari Sudut Pandang Dewi Sartika: Pandangan tentang Konsep, Subjek, Objek, dan Tujuan Pendidikan 

Dalam Mata Kuliah Ilmu Pendidikan. 

Disusun oleh: 

  • Tarisha Rizkya luvy (2323072)
  • Syakhila Amanda (2323054) 
  • Dela Meisandra (2323066)
  • Nadiya Ramadani Putri (2323051)
  • Nur Hilmi (2323063)

Biografi Dewi Sartika Dewi Sartika

Dewi Sartika, lahir pada 4 Desember 1884 sebagai putri pertama dari R. Rangga Somanagara, Patih Bandung, dan R.A. Rajapermas, putri Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusumah IV. Dewi Sartika tumbuh bersama saudara-saudaranya, yaitu Raden Somamur, Raden Yunus, Raden Entis, dan Raden Sari Pamerat. Meskipun ayahnya memegang posisi sosial yang mapan sebagai Patih, Dewi Sartika menghadapi tantangan ketika pendidikan formal tidak umum bagi perempuan priyayi pada masanya.

Dewi Sartika disekolahkan oleh ayahnya di Hollandsch Inlandshe School (HIS) pada masa politik etis tahun 1900. Pendidikannya terhenti ketika ayahnya dituduh terlibat dalam peristiwa politik dan diasingkan ke Ternate. Dewi Sartika kemudian dititipkan di rumah pamannya, Patih Aria Cicalengka, yang terkenal di kalangan priyayi. Namun, sebagai anak buangan, Dewi Sartika menghadapi perlakuan kurang baik dari keluarga kerabatnya.


Setelah kepulangannya ke Bandung pada tahun 1902, Dewi Sartika mendirikan sekolah khusus perempuan pada 16 Januari 1904. Sekolah ini berkembang pesat dan mengalami perpindahan lokasi ke Jalan Ciguriang, yang kemudian dikenal sebagai Jalan Dewi Sartika. Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata pada tahun 1906, yang memberikan dukungan penuh terhadap pergerakan pendidikannya.

Selama Perang Dunia I, sekolah Dewi Sartika mengalami kesulitan, namun dengan bantuan Nyonya Tijdeman dan Nyonya Hillen, pemerintah Hindia Belanda bersedia membantu. Pada tahun 1929, sekolah mendapatkan gedung baru dan mengubah namanya menjadi "Sakola Raden Dewi" untuk menghormati Dewi Sartika.

Setelah kematian suaminya pada 25 Juli 1939, Dewi Sartika mengalami kesulitan kesehatan. Pada tahun 1947, karena dampak perang Dunia II dan pendudukan Jepang, Dewi Sartika terpaksa meninggalkan Bandung, dan pada 11 September 1947, beliau meninggal di Cineam, Tasikmalaya. Meskipun sekolahnya sempat berhenti, setelah Bandung aman, pemerintah Indonesia menggunakan gedung sekolah Dewi Sartika. Makam Dewi Sartika kemudian dipindahkan ke Bandung.

Latar belakang pemikiran Dewi Sartika 

Mencerminkan perubahan kedudukan perempuan dalam masyarakat Indonesia sepanjang waktu. Di masa lalu, perempuan pernah menduduki posisi tinggi, seperti Ratu Sima dari Kerajaan Keling, Tribhuwanatunggadewi dari wangsa Isyana, Suhita dari Majapahit, dan Ratu Kalinyamat dari sejarah Demak. Selain itu, di berbagai daerah, seperti Minangkabau, Aceh, Sulawesi Selatan, Ambon, Bali, dan Kalimantan, perempuan memiliki peran penting dalam kepemimpinan.

Namun, kedudukan perempuan mengalami kemunduran di masyarakat Sunda akibat beberapa faktor. Pertama, feodalisme di zaman Kerajaan Mataram menempatkan istri sebagai lambang status pria, mengakibatkan pergeseran peran perempuan dari subjek menjadi objek. Kedua, datangnya agama Islam disertai pemahaman salah tentang konsep perempuan dalam Islam, dipengaruhi oleh pandangan negatif dari budaya Arab terhadap perempuan.

Selanjutnya, tradisi-tradisi merugikan perempuan, seperti kawin paksa, kawin gantung (pernikahan anak-anak), dan penceraian sepihak, juga memperburuk kedudukan perempuan. Kondisi ekonomi Indonesia yang merosot pada abad ke-19, terutama di masa kolonial, ikut berkontribusi pada kemerosotan umum, khususnya di Jawa. Dampaknya, muncul tradisi yang membatasi kebebasan perempuan, terutama terkait pernikahan anak-anak.

Dewi Sartika mengalami langsung ketidakadilan ini ketika tinggal bersama keluarga pamannya di Cicalengka. Pengalaman ini memicu tekad kuat untuk memajukan perempuan melalui emansipasi. Dewi Sartika ingin mendirikan sekolah perempuan yang mengajarkan pelajaran agama Islam. Emansipasi perempuan, baginya, seharusnya lebih fokus pada peningkatan kesadaran akan hak dan kewajiban, serta memberikan pemahaman tentang nilai-nilai qur'ani. Hal ini diharapkan dapat membebaskan perempuan dari gangguan yang dapat menghancurkan kesucian mereka.

Konsep Pendidikan Perspektif Dari Dewi Sartika

Konsep dapat diartikan sebagai suatu ide yang menggabungkan beberapa elemen menjadi satu ide utama, diungkapkan dengan kata-kata, simbol, atau tanda. Menurut Bruner, konsep terdiri dari lima elemen, yaitu nama, contoh, atribut, nilai atribut, dan aturan. Konsep ini merupakan hasil dari pemikiran manusia yang diperoleh melalui fakta-fakta dan peristiwa, dijelaskan dalam definisi, dan berguna untuk memecahkan masalah sehari-hari. Proses perolehan konsep terjadi saat unsur-unsurnya diidentifikasi dan dipelajari kebenarannya. Komponen konsep melibatkan nama (sebagai label kategori), atribut (karakteristik objek), contoh-contoh (positif dengan atribut nonesensial), dan definisi (penyataan khusus atribut konsep, hasil dari identifikasi atribut esensial dan nonesensial dari contoh positif dan negatif).

Perspektif Pendidikan Menurut Dewi Sartika

Dewi Sartika memandang perempuan sebagai subjek utama dalam pendidikan dengan tujuan memberdayakan mereka untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat. Subjek pendidikan versi Dewi Sartika adalah perempuan yang perlu diberdayakan, diberikan akses ke pengetahuan, dan dikembangkan potensinya melalui proses pendidikan.

Objek Pendidikan Dewi Sartika

Menurut Dewi Sartika, objek pendidikan adalah perempuan, terutama yang pada masa itu sering diabaikan dalam hal akses pendidikan. Dengan mendirikan Sekolah Kartini pada tahun 1904, Dewi Sartika berupaya memberikan pendidikan kepada perempuan, memberi mereka kesempatan memahami dunia, meningkatkan keterampilan, dan mempersiapkan diri untuk berperan aktif dalam kehidupan sosial dan ekonomi.

Tujuan Pendidikan Menurut Dewi Sartika

Dewi Sartika mengarahkan tujuan pendidikan untuk memberdayakan perempuan agar dapat berperan lebih besar dalam masyarakat. Pendidikan diarahkan untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan, meningkatkan kualitas hidup mereka, dan menciptakan lingkungan di mana perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki. Tujuan ini melibatkan pengembangan aspek akademis, karakter, dan keterampilan praktis sesuai kebutuhan masyarakat. Bagi Dewi Sartika, pendidikan tidak hanya tentang mentransfer pengetahuan, tetapi juga memberdayakan individu, khususnya perempuan, untuk mengambil peran aktif dalam pembangunan sosial dan mencapai kesetaraan gender. Melalui upayanya mendirikan Sekolah Kartini, Dewi Sartika berkomitmen untuk meningkatkan akses pendidikan bagi perempuan dan mengubah pandangan masyarakat terhadap peran perempuan dalam pembangunan nasional.

Kesimpulan

Raden Dewi Sartika merupakan salah satu pahlawan dari Jawa Barat yang gigih dalam memperjuangkan kemajuan pendidikan perempuan. Bagi beliau, pendidikan perempuan memiliki nilai yang sangat penting, karena perempuan memainkan peran kunci dalam membentuk generasi yang kuat. Dewi Sartika percaya bahwa melalui pendidikan, perempuan dapat menjadi pondasi utama dalam membangun anak-anak yang sehat secara fisik, psikis, beretika, berintelektual, dan memiliki keterampilan yang diperlukan untuk kehidupan mereka di masa depan.

Meskipun pada masanya perempuan dianggap memiliki posisi "kedua," Dewi Sartika memiliki pandangan jauh ke depan tentang pentingnya pendidikan perempuan. Bagi beliau, pendidikan bukan hanya sebagai alat, tetapi juga sebagai sarana untuk mengubah dan memajukan segala aspek kehidupan ke arah yang lebih baik, terutama dalam konteks pendidikan anak-anak.

Dalam pemikirannya, Dewi Sartika menekankan pentingnya peran guru sebagai teladan dalam proses pendidikan. Pemikirannya ini terkait dengan keyakinannya bahwa metode terbaik dalam mendidik adalah melalui contoh yang diberikan oleh para guru. Gerakan feminis yang diinisiasi oleh Dewi Sartika pada zamannya dapat dianggap sebagai langkah revolusioner, karena berhasil menantang norma-norma yang menganggap tidak biasa peran perempuan pada waktu itu.

Pemikiran Dewi Sartika tentang pendidikan perempuan tetap relevan hingga masa kini. Konsepnya bahwa perempuan harus memiliki keterampilan dan pengetahuan untuk menghadapi kehidupan sehari-hari sejalan dengan nilai-nilai yang dihargai dalam masyarakat modern. Secara keseluruhan, Dewi Sartika dapat dianggap sebagai seorang pemikir, aktivis, dan feminis yang memiliki pandangan yang progresif untuk kemajuan bangsanya, khususnya dalam konteks pendidikan perempuan.

Daftar Pustaka

Abidin, Z. (2017). Kesetaraan Gender Dan Emansipasi Perempuan Dalam Pendidikan Islam. Tarbawiyah Jurnal Ilmiah Pendidikan, 12, no. 1, 1--17.

Darmawijaya, E. (2015). POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Tinjauan Hukum Keluarga Turki, Tunisia Dan Indonesia). Tarbawiyah Jurnal Ilmiah Pendidikan, 1, no. 1.

 Ibrahim, T. (2018). Manajemen 'Sekolah Kaoetamaan Istri' Raden Dewi Sartika Dalam Meningkatkan Keterampilan Kaum Wanita Sunda. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Al-Idarah, 3 no. 1, 315. http://www.ejurnalstitpringsewu.ac.id/index.php/JMPI /article/view/35

 Kuntowijoyo. (2018). Pengantar Ilmu Sejarah 1st ed. Tiara Wacana. Narasi, T. (2005). 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia. 1st ed. Vol. 27. Penerbit Narasi. Naseer, R., & Sulasman. (2018).

Perkembangan Komunitas Arab Di Indonesia: Studi Kasus Perkampungan Masyarakat Arab Di Pekojan Jakarta Barat Pada Tahun 1950-2018. Historia Madania, 15, no. 29, 252.

Tanaga, S. (2019). Ensiklopedi Tokoh Nasional Dewi Sartia. 2nd ed. Nuansa Cendekia.

Wiriaatmadja, R. (1986). Dewi Sartika. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

 Yaniar, R. (2004). Seri Pahlawan Nasional-Dewi Sartika. PT. Gramedia Widia Sarana.

Yusuf, K. M. (2017). Model Emansipasi Qur'Ani Terhadap Kaum Perempuan.

 Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, 11, no.1, 114. https://doi.org/10.24014/af.v11i1. 3855.

Zakiah, L. (2011). Konsep Pendidikan Perempuan Menurut Raden Dewi Sartika. Vol. 1.

Amin, Saidul. (2013). Feminisme dan Islam. Kafa'ah: Jurnal Ilmiah Kajian Gender, 123- 143. Doi: 10.15548/jk.v3i2.38 _____. (2015). Filsafat Feminisme (Studi Kritis terhadap Pembaharuan Perempuan di Dunia Barat dan Islam). Pekanbaru: Asa Riau.

Arikunto, S dan Jabar, C. S. (2009). Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoretis Praktis bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Arivia, Gadis. (2003). Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP).

 Bayu Adji, Krishna dan Sri Wintala Ahmad. (2017). Istri-Istri Raja di Tanah Jawa. Yogyakarta: Araska.

Chaplin, J. P. (2014). Kamus Lengkap Psikologi. (D. K. Kartono, Penerj.). Depok: PT RajaGrafindo Persada.

Dahar, R.W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga.

 Daryono, Yan. (2008). Raden Dewi Sartika Sang Perintis. Bandung: Yayasan AWIKA & PT.Grafitri Budi Utami.

 Harahap, N. (2014). PENELITIAN KEPUSTAKAAN. Iqra, 8(01), 68--74.

Helwig, Tineke. (2007). Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ibrahim, Tatang. (2018). Manajemen "Sekolah Kaoetamaan Istri" Raden Dewi Sartika dalam Meningkatkan Keterampilan Kaum Wanita Sunda. Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Al-Idarah, Vol 3, No 1, 18-23.

Joyce, B., & Weil, M. (2003). Models of Teaching. New Delhi: Jy Print Pack Private.

 Joyce, W., & Calhoun. (2009). Models of Teaching (Eighth Edition): Model model Pengajaran (Edisi Delapan), terj. Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kamal, Mustofa. (2016). Restrukturisasi Pendidikan menuju Bangsa Berkarakter. Jurnal Madaniyah: Terciptanya Insan Akademis Berkualitas & Berakhlak Mulia, Vol 4, No 1, 35-44.

Komang, Ni Arie Suwastini. (2013). Perkembangan Feminisme Barat dari Abad ke Delapan Belas hingga Postfeminimse: Sebuah Tinjauan Teoritis. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol 2, No 1, 198-208.

 Mohamad, Hari Tohari. (2013). Feminisme Sunda Kuno (Studi Interpretasi Kritis Akulturasi Nilai-nilai Kesetaraan Gender Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana). Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.

 Mudyahardjo, Redja. (2014). Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal tentang Dasardasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

 Muhajir, A. (2011). Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual. Jogjakarta: Ar Ruzz Media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun