Mohon tunggu...
Tarisha Andhera
Tarisha Andhera Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

saya 🙋

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Tekad

9 Februari 2021   18:34 Diperbarui: 9 Februari 2021   18:35 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Ayam jantan berkokok menyambut pagi. Saatnya aku bertarung dengan kerasnya kehidupan. Aku seorang anak yatim, ayahku meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Mau tidak mau aku harus menjadi tulang punggung keluarga saat aku berusia 17 tahun. Aku harus menghidupi keluarga kecilku, jangan sampai saat besar nanti adikku merasakan hal yang sama. Aku harus menjadi orang yang sukses.

"Bu, Rizal berangkat dulu Bu." ucap Rizal sambil mencium tangan ibunya.

"Iya nak, hati-hati dijalan, ibu do'akan semoga semuanya lancar."

"Amin bu. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku pergi sekolah dengan menaiki sepatu yang sudah jebol dan menganga. Namun tak apa, semua harus disyukuri, sepatu ini nanti akan menjadi saksi perjuangan hidupku. Sebentar lagi aku menghadapi ujian akhir untuk lulus dari sekolah ini dengan tunggakan uang sekolah yang sudah menumpuk seperti cucian baju dan harus segera aku cuci.

Menjadi tukang parkir, kendek angkot, berjualan di terminal. Itu semua aku lakukan demi mencari seberkas uang untuk membayar uang sekolah. Apa pun akan aku lakukan asalkan pekerjaan tersebut halal. Terkadang aku lelah dengan semua ini, mengapa aku tidak seperti teman-teman yang lain yang hanya tinggal belajar, tidak memikirkan apakah beras di rumah masih cukup untuk makan besok. Namun aku berpikir, tidak ada perjuangan yang sia-sia. Aku hanya harus melangkah sedikit lagi, dengan doa ibu yang selalu menyelimuti di setiap pekerjaan ku. Aku selalu teringat akan kalimat yang pernah ibu lontarkan "Nak maafkan ibu tidak bisa menjadi ibu yang baik, seharusnya ibu yang mencari nafkah untuk anak-anak." Aku tidak tega ibu berkata seperti itu, aku sudah besar. Sudah cukup ibu membesarkan aku. Kini giliran aku yang harus membantu pekerjaan ibu.

Dengan semua lika liku yang telah aku lewati, akhirnya aku bisa lulus dari sekolah. Tapi sampai kapan aku bekerja seperti ini? Apakah aku bisa menghidupi keluarga ku dengan uang yang sedikit? Bagaimana adikku bisa sekolah jika aku hanya bekerja seperti ini. Ibu sudah tua, aku belum bisa membahagiakannya. Ibu berjualan kue sambil menggendong adik kecil ku. Sungguh pemandangan yang sangat tidak indah. Mungkinkah aku harus pergi ke ibu kota. Bekerja di gedung-gedung tinggi dan mempunyai banyak uang. Itu yang aku harapkan.

"Bu, Rizal pikir Rizal harus pergi ke ibu kota"

"Tidak Rizal, ibu khawatir, sudah cukup ditinggal oleh ayahmu."

"Bu, tapi apa yang ibu harapkan dari Rizal? Jika Rizal seperti ini?."

Terdengar suara rintihan tangis ibu di kamar. Ia menangis mendengar aku akan meninggalkan nya. Aku bingung, bagaimana bisa mengejar mimpi jika tidak ada restu orang tua. Setelah berbulan-bulan bekerja sampingan sembari mengumpulkan modal untuk pergi ke ibu kota jikalau suatu saat ibu merestuinya. Akhirnya ibu mengizinkan aku untuk pergi ke ibu kota. Aku bersiap-siap menyiapkan perbekalan untuk dibawa kesana.

Sesampainya di ibu kota. Aku melihat kendaraan-kendaraan mewah berseliweran di jalan. Para penumpang mobil tersebut berpakaian rapi, keren dan berdasi. Aku ingin seperti mereka, mengendarai kendaraan berpendingin, berpakaian necis dan tentu saja memiliki banyak uang yang banyak. Pada saat itu aku menggantung kan cita-cita ku setinggi langit, sebuah cita-cita dan tekad di azamkan dalam hatiku.

Dengan modal yang sudah aku kumpulkan ternyata tidak cukup untuk tinggal di ibu kota, akhirnya sisa dari simpanan uang, aku gunakan untuk berdagang. Aku menjadi pedagang asongan yang menjajakan perhiasan imitasi dari jalan raya hingga ke kolong jembatan mengarungi kerasnya kehidupan ibu kota. Usaha daganganku laku keras, namun ketika sudah menuai hasil. Ternyata tuhan memberi cobaan, ketika petugas penerbitan datang, daganganku dilempar dan diinjak-injak hingga jatuh ke lumpur. Untung saja teman-teman dari kawula rendah seperti tukang sepatu, tukang sayur, dan lain-lain beramai-ramai membersihkan daganganku.

Uang dari hasil berdagang aku pakai untuk biaya lamaran pekerjaan. Aku mengirimkan lamaran pekerjaan ke setiap gedung bertingkat. Lalu tak lama, tiga hari kemudian datang surat yang menyatakan bahwa aku diterima menjadi OB disalah satu perusahaan bank. Sebuah jabatan paling dasar, paling bawah dalam sebuah hierarki organisasi dengan tugas utama membersihkan ruangan kantor, wc, ruang kerja dan ruangan lainnya.

Selain menjadi Office Boy, aku juga biasa membantu para pegawai atau staf sambil bertanya mengenai istilah-istilah bank yang rumit untuk menambah wawasan. Walaupun terkadang diantara mereka ada yang menertawakan atau sang staf sampai mengernyitkan dahinya. Mungkin dalam benak pegawai "Ngapain nih OB nanya-nanya istilah bank segala, kayak ngerti aja".

Sampai akhirnya aku sedikit demi sedikit familiar dengan istilah bank seperti Letter of Credit, Bank Garansi, Transfer, Kliring, dll. Suatu saat aku tertegun dengan sebuah mesin yang dapat menduplikasi dokumen (saat ini dikenal dengan mesin photo copy). Saat itu mesin foto kopi sangatlah langka, hanya perusahaan tertentu lah yang memiliki mesin tersebut dan diperlukan seorang petugas khusus untuk mengoperasikannya. Setiap selesai pekerjaan setelah jam 4 sore aku sering mengunjungi mesin tersebut dan minta kepada petugas foto kopi untuk mengajariku. Akhirnya aku pun mahir mengoperasikan mesin foto kopi.

Dan tanpa ku sadari pintu pertama masa depan terbuka. Pada suatu hari petugas mesin foto kopi itu berhalangan dan praktis hanya aku yang bisa menggantikannya, sejak itu aku resmi naik jabatan dari OB sebagai Tukang Foto Kopi. Sebuah prestasi yang bisa aku capai, namun aku belum puas, aku harus terus belajar.

Suatu ketika ada seorang staf yang memiliki setumpuk pekerjaan di mejanya. Aku mencoba menawarkan diri untuk membantunya. Sang staf mewanti wanti agar berhati-hati dan teliti saat mengerjakannya atau tidak aku akan dipecat. Akhirnya aku diberi setumpuk dokumen, tugasku adalah membubuhkan stempel pada Cek, Bilyet Giro dan dokumen lainnya pada kolom tertentu. Stempel tersebut harus berada di dalam kolom tidak boleh menyimpang atau keluar kolom. Alhasil aku membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut karena dia sangat berhati-hati sekali. Selama mengerjakan tugas tersebut aku tidak sekedar mencap, tapi sambil membaca dan mempelajari dokumen yang ada.

Berkat ilmu yang di dapatkan dari membantu para staf dan pegawai, pejabat di perusahaan akhirnya mengangkat ku sebagai pegawai di bank. Tak jarang banyak rekan kerja yang mencibir karena dianggap tidak konsisten dengan tugas.

"Jika masuk OB, ya pensiun harus OB juga." begitu rekan sesama OB menggugat.

Namun aku tidak patah semangat, aku selalu mengasah keterampilan dengan membantu orang karena hanya lulusan SMA aku tidak memiliki materi. Tidak ada perjuangkan yang menghianati hasil, sampai karir ku melesat bak panah meninggalkan rekan sesama OB bahkan staf yang mengajari ku tentang istilah bank.

Sekitar 19 tahun sejak menjadi Office Boy akhirnya aku mendapatkan jabatan tertinggi yaitu Vice President. Sebuah jabatan ter puncak di perusahaan tersebut. Dengan kerja keras yang aku lakukan, dengan berbagai rintangan yang sudah dilewati akhirnya aku menikmati hasilnya. Aku bisa membuktikan kepada ibu di kampung bahwa aku sudah menjadi orang yang sukses. Terima kasih ibu, tanpa restumu semua ini takan bisa tercapai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun