Mohon tunggu...
Tareq Albana
Tareq Albana Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Nominee of Best Citizen Journalism Kompasiana Awards 2019. || Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Mesir. Jurusan Hadits dan Ilmu Hadits.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama FEATURED

4 Pengalaman Positif yang Hanya Dialami oleh Para Santri

22 Oktober 2019   20:15 Diperbarui: 22 Oktober 2021   10:00 3069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenangan saya saat menjadi seorang Santri di Pondok Pesantren Diniyah Limo Jurai, selamat hari Santri (dokpri)

Selamat Hari Santri Nasional! Untuk seluruh Santri yang tak terlalu dikenal oleh masyarakat dunia namun populer bagi masyarakat langit.

Momentum hari santri ini kembali mengingatkan saya akan euforia saat menjadi santri di sebuah pondok pesantren kecil dan terpelosok di kaki gunung Marapi, Sumatera Barat. 

Teringat dahulu saat saya sedikit dipaksa oleh orangtua untuk menjadi santri, dengan harapan agar bisa menjadi anak yang sholeh dan berbakti kepada orangtua, bangsa, dan negara, itu saja.

Santri itu adalah sebutan bagi mereka yang bersekolah di pondok pesantren ataupun di langgar, saat ini masih banyak pesantren yang belum terdaftar secara resmi di Kemendikbud.

Saya teringat dahulu menjadi santri adalah hal yang sedikit memalukan, karena masyarakat menganggap pesantren hanyalah untuk anak-anak yang nakal dan bermasalah. Mereka tidak sepenuhnya salah.

Saya akui dulu selama di pondok memang ada anak-anak yang nakal. Namun saya juga banyak melihat anak baik dan pintar, khususnya di pondok pesantren saya dahulu.

Namun sekarang saya bersyukur bahwa anggapan itu sudah mulai luntur. Bahkan masyarakat sekarang berlomba-lomba untuk memasukkan anak mereka ke pondok pesantren.

Banyak orangtua yang sudah menyadari bahwa pendidikan agama adalah tameng terbaik bagi anak mereka dalam menghadapi persoalan moral dan seks bebas yang marak di zaman ini. Menjadi santri adalah solusi.

Menjadi santri adalah takdir yang paling saya syukuri, begitu juga dengan jutaan santri lainnya.

7 tahun menjadi santri bukanlah waktu yang sebentar. Banyak pengalaman baik yang saya pelajari.

Pendidikan santri sangat berbeda dengan sekolah pada umumnya, di mana santri pondok pesantren dididik 24 jam dalam sehari dengan konsep asrama (boarding school). 

Sedangkan pendidikan di sekolah umum (SMP dan SMA) "hanya" berlangsung 8 jam sehari, selebihnya mereka akan dididik oleh orangtua di rumah.

Inilah yang membuat santri berbeda dari sisi sosialnya dibanding dengan siswa SMP dan SMA reguler, di mana santri memiliki pengalaman sosial yang lebih tinggi karena harus hidup bersama santri lainnya dalam satu atap.

Tidak hanya itu, karakter mereka semakin kuat karena dituntut untuk selalu mandiri dan menyelesaikan semua konflik dirinya secara mandiri.

Saya melihat bahwa pendidikan santri adalah pendidikan yang cocok untuk dulu, sekarang, dan masa depan. Bahkan menjadi santri adalah solusi bagi Indonesia untuk mencetak generasi penerus yang berkarakter kuat serta melindungi anak mudanya dari pengaruh buruk pergaulan bebas dan pengaruh luar yang kian marak.

Sehingga tak heran sudah banyak pesantren yang menjawab kebutuhan masyarakat dengan membuka jurusan IPA dan IPS sebagai pelengkap jurusan Keagamaan yang lebih dulu ada.

Walaupun begitu, pendidikan santri di pondok pesantren bukan berarti lebih unggul dibanding sekolah umum atau sebaliknya. Akan tetapi kedua jenis pendidikan ini memiliki corak yang berbeda dan bisa saling melengkapi satu sama lain.

Banyak hal yang saya pelajari saat menjadi santri dan rasanya tidak akan saya temui di belahan bumi manapun.

Oleh karena itu, di momen Hari Santri ini saya akan bahas 5 jenis pengalaman positif oleh para santri saat belajar di pondok pesantren, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya selama hampir 7 tahun lamanya.

Latihan Disiplin
Saya merasakan bahwa pendidikan pesantren itu seperti pendidikan semimiliter, karena hal yang paling utama diajarkan adalah kedisiplinan.

Saat awal-awal menjadi santri, saya termasuk orang yang sering dihukum, sebabnya macam-macam, telat masuk kelas, tidak memakai atribut lengkap, ketahuan cabut, dan ratusan sebab lainnya. Namun inilah hal yang paling krusial, karena usia sekolah adalah saat yang tepat untuk membiasakan anak untuk senantiasa disiplin.

Kedisiplinan akan sulit diajarkan jika anak masih tinggal bersama orangtua.

Hukuman yang diberikan pun beragam dan yang paling umum adalah hukuman botak jika melanggar suatu pelanggaran. Walau terkesan sedikit sadis, tapi hukuman botak sangat efektif memberikan efek jera dibandingkan dengan memukul santri, sehingga santri terbiasa disiplin dalam keseharian.

Hal ini sangat positif untuk masa depan mereka agar mampu menghadapi tantangan dunia yang semakin sengit.

Mandiri Sejak Dini
Pengalaman selanjutnya yang akan dialami setiap santri adalah kemandirian, di mana sejak hari pertama santri berpisah dari orangtua mereka sudah harus menyelesaikan semua urusannya sendiri, mulai dari mencuci, melipat baju serta menyiapkan seragam sekolah. 

Padahal santri baru berumur 12 tahun. Namun itulah kelebihan pendidikan di pesantren yang menempa jiwa mereka agar mandiri di usia dini.

Mandiri di sini bukan sekadar menyiapkan segala kebutuhannya sendiri seperti memasak lauk, memasak nasi, sayur, dan lain-lain, melainkan juga menyelesaikan konflik dengan teman dan bertahan menghadapi tekanan tanpa mengadu ataupun berlindung di ketiak orangtua. 

Kemandirian ini adalah kunci utama kesuksesan santri dalam pendidikannya. Setelah mereka bisa mandiri, maka akan tumbuh kesadaran akan pentingnya sekolah untuk masa depan mereka. 

Tak heran jika kita melihat  santri yang sudah beberapa tahun di pondok, ia sanggup belajar dan melahap materi-materi pelajaran yang banyak dan berat. 

Seperti saya dulu yang pernah mempelajari kitab berbahasa Arab setebal 600 halaman hingga selesai. Semua itu berkat kesadaran yang ditumbuhkan oleh pendidikan pesantren. Tanpa adanya kesadaran, tak mungkin rasanya untuk mempelajari kitab sebesar itu.  

Belajar Menyelesaikan Konflik
Hidup dalam kebersamaan adalah pengalaman yang pasti dialami santri, di mana mereka belajar untuk menurunkan ego, tenggang rasa dan berbagi kepada teman. 

Biasanya satu asrama itu dihuni hingga ratusan santri. Mereka datang dari daerah, karakter, dan sifat yang berbeda sehingga muncul banyak masalah yang akan dialami oleh santri.

Masalah yang muncul beragam. Umumnya masalah sepele yang biasa terjadi di antara anak remaja seperti berkelahi, rebutan makanan, dan lain sebagainya. 

Namun di sinilah kesempatan bagi santri untuk belajar mengelola konflik antar teman dan menyelesaikannya. Setiap konflik yang mereka hadapi akan memberikan pelajaran yang berharga untuk menjaga perasaan satu sama lain.

Setelah menghadapi berbagai macam masalah, santri akan mengalami pendewasaan. Mereka akan matang secara mental dan pikiran. Tak heran santri sudah bisa memegang amanah yang besar tatkala umurnya masih remaja. Bahkan di beberapa pesantren, santri senior itu sudah dirikan amanah untuk mengajarkan adik kelasnya.

Santri juga akan dibimbing oleh pembina asrama yang mengatur dan membantu santri dalam menyelesaikan konflik agar terkendali dan bisa memberikan pelajaran positif.

Latihan Menjadi Pemimpin
Setelah hidup beberapa tahun di pesantren, para santri biasanya akan dilatih menjadi pemimpin oleh pihak pesantren. 

Latihannya beragam mulai dari memimpin OSIS, mengajar adik-adik kelas, bahkan ada yang mengutus santri untuk memberikan wawasan agama kepada masyarakat pelosok. Semua itu dengan tujuan agar santri memiliki pengalaman ekstra di luar kelas yang akan mengasah jiwa kepemimpinan mereka.

Jiwa pemimpin santri sebenarnya sudah dilatih sejak awal mereka masuk pondok yaitu kemandirian dan kebersamaan. Namun aksi dan praktiknya akan diberikan ketika mereka sudah 3 atau 4 tahun di pondok karena dinilai sudah matang dan layak dari sisi keilmuan.

Tak heran pada zaman penjajahan, banyak santri yang berperan sebagai pemimpin gerilyawan dalam melawan penjajahan kolonial. Dan di zaman ini kita menemukan santri menjadi Dai dan tokoh masyarakat, semua itu berkat latihan  kepemimpinan yang dialami oleh santri.

itulah 4 pengalaman positif yang dialami oleh santri, walaupun tidak semuanya yang menyenangkan akan tetapi saya meyakini bahwa semua itu adalah hal yang sangat baik dalam pembentukan karakter saya, sehingga mampu menjadi orang yang mandiri dan siap menghadapi dunia.

Semoga tulisan menjadi inspirasi bagi Anda yang masih ragu untuk menyekolahkan anak ke pesantren.

Selamat Hari Santri!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun