Mohon tunggu...
Hasiati Kimia
Hasiati Kimia Mohon Tunggu... Penulis - Bukan seorang penulis profesional, tetapi menulis dapat membuka wawasanku

Banyak bermimpi dan mencoba langkah baru kadang selangkah mendekatkanmu dengan mimpumu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Rose RTC] Senyum September

15 September 2016   07:29 Diperbarui: 15 September 2016   16:34 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Senyum termanis yang kau beri di pertemuan terakhir kita, merubah gurat galau di wajahku menjadi senyum tanggung kala tangan ini harus melepas genggamanmu di pelabuhan.

***

Sehari sebelumnya

“Ren, anterin aku ke pelni dong” pintamu dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahmu sejak ku mengenalmu dua tahun silam.

“baiklah Susi yang cantik, untukmu apasih yang nggak” candaku yang membuatku aku sendiri sedikit malu dengan kelakuanku

Mendekati hari mudik lebaran membuat pengunjung di PT Pelni membludak hingga harus antri beberapa lama barulah kami mendapat giliran. Tiga tiket dewasa untuk Susi, Ibu dan adiknya telah kita pegang. Salah satu stasiun TV swasta sempat mewawancarainya sebagai salah satu pemudik demi kebutuhan berita mereka nanti sore.


Setelah meninggalkan tempat penjualan tiket, kita menyempatkan diri mengelilingi kota berdua mengendarai sepeda motor keluaran Sembilan puluhan. Menikmati saat-saat bersama sebelum akhirnya harus berpisah sebentar karena mudik. Cuaca kala itu seperti hatiku yang galau kadang panas terik kadang mendung dan berakhir hujan lebat yang memaksa kita untuk pulang.

***

Hari kejadian

Hari ini, entah ada yang lain dengan senyummu. Seperti kehilangan cahayanya walau kau tetap terlihat manis dimataku. Sambil membantuku mengepakkan barang bawaan, sesekali kau memandang wajahku cemas.

“jangan sedih dong cantik, bang Renomu yang ganteng ini pergi nggak akan lama kok. Lagian besok giliran kamu yang mudik bareng ibu kamu kan?” rayuku menenangkan.

Dengan menaiki angkot, Susi tetap mendampingiku sampai di pelabuhan dengan kapasitas muatan kapal 300 penumpang dan terbuat dari bahan viber. Dilema memang membiarkanmu mengantarku, disatu sisi khawatir bagaimana kau pulang nanti dan disisi lain senang karena kau tetap bersamaku hingga kapal akan meninggalkan tempatnya berlabuh.

Stom kapal berbunyi dua kali yang mengisyaratkan penumpang harus bersiap lantaran kapal akan berlayar. Tak tau aku harus berkata apa padamu, sejuta rasa dalam benak namun tak satupun yang tersirat dalam kata di lidah ini.

“jaga dirimu baik-baik” dan senyum termanis yang kau beri di pertemuan terakhir kita, merubah gurat galau di wajahku menjadi senyum tanggung kala tangan ini harus melepas genggamanmu di pelabuhan.

Rasa gelisah didalam kapal semenjak berlayar kali ini membuatku tak nyaman, senyummu selalu membayangi kala ku memejamkan mata. Hingga dua jam kemudian sebuah SMS menggetarkan ponsel genggamku.

Isi pesannya singkat dan jelas namun menghancurkan hidupku, ingin ku teriak tapi suara ini tertahan, kakiku lemas bagai tak bertulang hanya air mata dan perasaan seperti tercekik yang kuingat.

Hingga kapal berlabuh di kampung halamnku. Kaki ini bingung hendak melangkah ke mana? Tak mampu melangkah akupun terduduk di tepi pelabuhan, hingga ada suara yang menyadarkanku.

“ada apa Ren, kamu ngapain nangis disini?” Tanya Heno sahabat seperjuanganku saat kuliah dulu dengan wajah penuh khawatir.

Tak mampu berkata aku menyodorkan ponsel yang berisi pesan singkat dari Dewi adiknya Susi

Bang, Kak Susi udah nggak ada lagi.

Meninggal karena kecelakaan saat di angkot.

Entah bagaimana caranya, akupun sudah sampai dirumah. Heno menceritakan apa yang terjadi padaku kepada keluargaku, adiku yang paling bungsu langsung pingsan karena terkejut. Dia yang paling akrab dengan Susi sejak ku mengenalkannya kepada keluargaku. Apa yang keluargaku rencanakan aku sudah tak tahu, yang ada dalam pandanganku hanya senyumanmu saat melepas kepergianku di pelabuhan tadi.

Pukul empat dini hari, aku beserta keluarga menuju rumah duka. Perjalanan yang memakan waktu tujuh jam kuhabiskan hanya mengenang wajahmu, mengenang saat-saat kebersamaan kita, tawamu dan semua hal tentangmu.

Ketika kakiku berada tepat didepan rumahmu, kekuatan yang kukumpulkan hilang saat kulihat teman-teman kuliahku dulu yang sering kupamerkan tentang kekasih terbaik yang kupunya. Dengan dipapah mereka, aku memasuki rumah duka dan disambut sosok jenazah yang tertutup kain serta ibu yang duduk disampingnya.

Jatuh tersungkur aku di pangkuan ibumu, dua hal yang bisa kulakukan saat itu adalah menangis sejadi-jadinya dan,

“maafkan aku bu… maafkan aku” kalimat yang keluar dari bibirku hanya itu.

Dewi menyibak sedikit kain yang menutupi wajahmu, dan menyarankan agar ku melihar wajahmu tuk yang terakhir kali sebelum kau dimakamkan. Tak kuasa akumemandangmu, namun ibumu meyakinkanku agar setelah itu aku bisa ikhlas.

Wajahmu pucat, namun ciri khasmu masih tetap ada hingga akhir yakni senyummu yang penuh cahaya untuk menenangkan hati masih melekat.

“maafkan aku… maafkan aku…” kembali ku bersungkur di pangkuan ibumu.

Setelah pemakamanmu, hanya berandai yang bisa kupikirkan. Andai supir angkot itu tidak panik saat disalip mobil dinasnya pejabat, andai kau tidak naik angkot itu, andai kau tidak mengantarku ke palabuhan, andai dan andai yang menambah penyesalan dan rasa bersalahku padamu.

Selama tiga hari, hampir semua teman yang mengenalmu memajang fotomu dengan senyuman termanis di sosmed mereka. Kalimat belasungkawa tak terputus bahkan oleh saluran TV swasta yang sempat mewawancaraimu di hari sebelum kepergianmu.

Pada akhirnya, hanya senyumanmu yang dikenang oleh orang-orang disekitarmu kala mengingatmu. Senyum penuh cahaya keikhlasan yang membuat hati selalu tenang rasanya. September yang mempertemukan kita, September juga yang memisahkan kita.

karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti event Romansa September RTC

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun