Siapa yang tidak mengenal kota Solo atau lebih tepatnya bernama Surakarta?. Dibalik kisah para tokoh ternama yang lahir dan tinggal disana, adalah sosok bernama Triana Rahmawati atau akrab dipanggil Kak Tria. Kisahnya seolah menggenapkan makna tentang cara kita "ngewongke", atau memanusiakan manusia. Terlepas apapun kondisinya , termasuk stigma yang melekat dalam diri para ODMK (orang dengan masalah kejiwaan). Ya, sebagian orang awam kerap menjaga jarak dengan mereka yang kerap terstigma "gila". Berbeda halnya dengan Kak Tria.Â
Siang itu perempuan yang kini menjadi Dosen di Universitas Sebelas Maret (UNS) berbagi kisah bermulanya aksi pendampingan terhadap ODMK. Dengan penuh semangat layaknya motivator, Kak Tria mengulang cerita yang cukup heroik dari tahun ke tahun. Bukan dengan ujug-ujug, dirinya menjadi salah satu peraih Satu Indonesia Award tahun 2017, penghargaan bergengsi dari Astra Indonesia. Meski dirinya bukanlah mahasiswa Psikologi, namun sejak tahun 2014 inisiatif untuk melakukan pendampingan ODMK di griya PMI mampu menjadi oase tersendiri, membuka makna baru bahwa ODMK mampu berdaya dan hidup mandiri.
Latar belakang sosiologi tak menjadi penghalang baginya untuk terus membersamai para ODMK melalui pendekatan sederhana. Menyanyi, menari, mewarnai menjadi alat untuk lebih dekat. Kisahnya tak semulus jalan tol, sebab sempat merasa lelah saat banyak pihak menghubunginya untuk menitipkan anggota keluarga yang terganggu kejiwaannya. Biar bagaimanapun tempat terbaik bagi para ODMK adalah di tengah keluarga, bukan di panti atau griya yang diperuntukkan bagi penderita gangguan kejiwaan. Sungguh tak ringan peran kak Tria dalam melakukan pendampingan ODMK di Griya Schizofren di Kota Solo.
Nyatanya, hingga kini Kak Tria masih terus melakukan pendampingan dengan banyak hal baru yang kreatif bersama para relawan. Dia kerap ditanya, program terbaru apa yang dilakukan, apa yang berbeda dari program di tahun sebelumnya?. Dari caranya menarik nafas dalam-dalam , jelas ada energi besar yang dia berikan dalam pendampingan ODMK yang berjalan selama kurang lebih 11 tahun . Bukan waktu yang singkat, mengingat pendampingan terhadap OMDK haruslah berkelanjutan.
Dirinya selalu terbuka saat menjawab pertanyaan dari awak media ataupun para pegiat blog. Baginya kolaborasi dengan banyak pihak menjadi support yang cukup berarti. Tak sekedar menginsipirasi namun untuk memperluas misi memanusiakan manusia tanpa stigma "gila" yang melekat .Â
Jangan hanya mengandalkan dokter spesialis Jiwa atau Psikiater, Psikolog untuk mengatasi masalah ODMK. Sebab semua bisa berpotensi menjadi ODMK, termasuk para mahasiswa, begitu Kak Tria menegaskan agar setiap kita punya kepedulian terhadap sesama. Dirinya pun menambahkan bahwa ada mahasiswa yang sangat peduli dengan anggota keluarganya yang mengalami gangguan kejiwaan. Hal tersebut bukanlah aib, melainkan menjadi motivasi dan memacu mahasiswa untuk lebih berprestasi.
Dari informasi akun sosial media yang disebutkan oleh Kak Tria, semua mata akan paham dan lebih terbuka setiap kegiatan yang dilakukan olehnya sangat membangun jiwa dan kemandirian ODMK di griya Schizofren Surakarta. Mereka tidak saja diajari cara membuat karya yang bisa dijual , namun mendapatkan tambahan asupan gizi yang berasal dari buah-buahan yang dibagikan  melalui aktifitas fruitDay.Â
Bahkan setiap tahun  saudara-saudara kita di Griya Schizofren merayakan hari kemerdekaan dengan aneka lomba dengan penuh semangat.  Tentu ini menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa setiap kita punya hak untuk bahagia. Seperti yang tertulis pada caption salah satu postingan sosial media @griya.schizofren bahwa Di antara warna, senyum dan canda...kita temukan arti dekat yang sebenarnya. Saatnya kita mengubah sikap dan pemikiran tentang mereka yang mengalami gangguan kejiwaan.Â
Bukan tanpa sebab saya melawat melintas kota untuk kegiatan di Solo Pos, semata mendengar langsung kisah Kak Tria, sebab tidak sedikit teman saya terkasih terstigma gangguan kejiwaan. Bukankah ditengah pesatnya distraksi kehidupan, bukan tidak  mungkin kita tak ubahnya menjadi bagian dari masyarakat yang rentan dengan gejala kejiwaan itu sendiri?