Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petunjuk Jalan

31 Maret 2024   17:17 Diperbarui: 31 Maret 2024   21:17 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

     Tito melepas kaca mata dan menaruhnya di meja. Kepalanya ia pijit sebentar lalu duduk bersandar. Matanya kemudian menerawang ke langit-langit.

     Tuhan, kenapa otak Ayah yang diwariskan padaku. Kenapa bukan otak Ibu?

     Kerja Ayah seharian hanya bermalas-malasan di warung, duduk membaca atau menonton berita sambil minum bergelas-gelas kopi dan menghisap berbungkus-bungkus rokok. Andaikata Ayah bergerak, itu pun bila ada orang yang membeli. Dan Warung itu pun ada berkat modal yang diberikan Ibu.

     Entah bagaimana mereka bisa bertemu dan menikah. Dari cerita yang kudengar, sebagaimana budaya orang duhulu, mereka berdua terperangkap dalam perjodohan keluarga yang tak bisa mereka elakkan.

     Setelah menikah mereka berdua merantau ke Jakarta, memulai semua sebagai sepasang suami-istri yang belum punya apa-apa.

     Tetapi karena otak Ibu encer dan bekerja keras maka ia sukses. Sekarang ia sudah menjadi kepala cabang di bank swasta ternama. Gajinya besar. Oleh karena itu aku bisa bersekolah di yayasan Katolik ini. Ah, andai saja otak Ibu yang aku miliki.

     Tapi kalau aku pikir-pikir, nilai raporku jelek bukan karena aku malas belajar. Semua pelajaran  yang mendapat nilai jelek di rapor sudah aku usahakan untuk perbaiki.

     Aku sudah ikut les di sana-sini, tetapi entahlah, hasilnya nihil. Kalaupun ada pelajaran yang nilainya naik paling-paling hanya mengalami peningkatan satu angka. 3 menjadi 4. Atau 4 menjadi 5. Itu sebabnya semenjak SD sampai sekarang aku SMA, rankingku selalu masuk lima besar - dari bawah.

     "To, Tito,"

     Tito terhenyak dari lamunan begitu ada seseorang yang mencoleknya. Ia alihkan matanya ke sumber suara itu dan terkejut.

     "Pak Tudu?!" Tito lekas berdiri dan menunduk. Segan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun