Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Petunjuk Jalan

31 Maret 2024   17:17 Diperbarui: 31 Maret 2024   21:17 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

     Tepuk tangan meriah menggema di studio ruangan itu. Puluhan penonton sedang menyambut kedatangan tiga penulis pendatang baru yang tengah populer belakangan ini.

     Karya-karya mereka selalu menjadi best seller. Satu di antara penulis muda itu, Tito Rajagukguk. Kebetulan ia menjadi satu-satunya bintang tamu pria di acara ini. Penulis berkaca mata tebal dan selalu mengggonta-ganti warna rambut sesuai suasana hatinya. 

     Dan ini untuk pertama kali ia bersedia datang ke satu acara talkshow di tivi. Biasanya Tito selalu menolak, karena ia merasa kurang nyaman bila menjadi pusat perhatian orang banyak

     Wanita pembawa acara itu mempersilahkan ketiganya duduk, dan mulai mewawancarai mereka satu-persatu. Beberapa pertanyaan yang dapat menggugah hati bintang tamu dilontarkan. Berharap salah satu dari mereka ada yang menjawab sambil menangis agar rating acara itu naik.

     Tito mulai agak mengantuk, bukan karena acaranya tidak menarik, melainkan karena sudah dua hari ia begadang lantaran menulis novel yang tengah dikejar deadline.

     Sekali dua kali Tito menyembunyikan wajahnya untuk menguap. Akan tetapi, begitu pembawa acara itu memberikan pertanyaan, siapa orang yang paling berjasa dalam hidup kalian sampai bisa menjadi penulis sukses seperti sekarang? Tito tiba-tiba jadi segar lagi. 


     Dan di tengah pertanyaan itu dijawab oleh bintang tamu yang lain, perlahan ingatan Tito terbang ke satu momen yang tak pernah bisa dilupakannya. Momen ketika ia remaja. Momen ia menemukan jati dirinya.      

                                         ***

     "Brakk!' dengan wajah merah menyala, Tante Tiar membanting rapor Tito di meja.

     Tito yang berdiri di dekat meja menunduk. Gemetaran.

     "Ibu malu bertemu wali kelasmu tadi!" teriak Tante Tiar marah besar. "Sebenarnya apa yang kamu pelajari di sekolah sampai nilai rapormu merah semua! Kamu itu punya otak tidak?!"

     Tito membisu.

     "Jawab!" bentak Tante Tiar makin kencang.

     Tito menganggukkan kepalanya.

     "Lalu kenapa bisa sejelek ini rapormu! Ibu sekolahin kamu supaya pintar bukan malah jadi bodoh! Kalau nilai kamu seperti ini terus mau jadi apa kamu nanti!"

     "Kamu laki-laki Tito! Kelak punya tanggung jawab yang besar! Kamu mau berkeluarga cuma mengandalkan Titit! Di mana rasa malumu sebagai laki-laki!" tandas Tante Tiar.

     Tito tak sanggup menjawab. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa diam saja seperti patung.

     "Kalau seperti ini terus nilaimu! Ibu tidak mau kuliahin kamu! Percuma!"

     Dengan langkah tegas Tante Tiar pergi. Hatinya masih dipenuhi amarah yang menyala-nyala pada anak semata wayangnya itu.

     Sementara Tito yang masih menunduk diam-diam menangis. Air matanya satu-persatu jatuh ke lantai.

                                         ***

     Malam sudah larut, sudah tak terdengar lagi suara kendaraan atau manusia di luar sana. Tetapi Tito masih belum bisa tidur di kamarnya walaupun sedari tadi ia sudah membolak-balik badannya mencari posisi yang nyaman. Kata-kata ketus Tante Tiar terus berputar di pikirannya. Sampai kepalanya terasa ingin pecah.

     Tito meraih henpon. Coba mengalihkan kegelisahannya itu. Barangkali dengan membaca cerita-cerita humor di media sosial suasana hatinya akan membaik.

     Ia lantas memasuki salah satu website humor. Dan muncul iklan judi online bergambar foto perempuan sexy di layar henponnya secara tiba-tiba. Tito berdecak kesal. Iklan-iklan di media sosial yang kerap muncul otomatis seperti ini terasa sangat mengganggunya.

     Tito hendak abaikan tetapi ia teringat kembali kata-kata ketus Tante Tiar.

     "Kamu mau berkeluarga cuma mengandalkan Titit?! Di mana rasa malumu sebagai laki-laki!"

     Tito melihat lagi foto perempuan seksi di iklan judi online itu. Merenung sejenak, sebelum kemudian ia bergegas ke toilet membawa henponnya.

     Begitu sampai di dalam, Tito melepaskan celananya lalu duduk di WC. Awalnya Tito agak ragu haruskah ia meluluskan niatnya ini, tetapi karena ia terusik maka dilanjutkan keingintahuannya itu.  

     Ia pandang lagi foto perempuan sexy itu. Kali ini sembari memain-mainkan tititnya. Beberapa menit kemudian, begitu Tito merasa sudah ereksi, ia segera mengalihkan pandangan dan kecewa.

     "Otak tidak ada. Titit pun kecil," Tito mendengus.

                                       ***

     Bel pertanda jam istirahat sekolah berbunyi nyaring. Dan seperti murid-murid lainnya, Tito gegas membereskan buku-buku lalu beringsut dari kursi dengan langkah yang lesu. Deny, teman sebangkunya, kemudian memanggil.

     "Tit,"

     Mendengar itu, Tito berhenti berjalan. Ia menoleh dan memasang wajah yang amat kesal. Matanya melotot.

     "Jangan panggil aku, Tit!"

     "Eh?!" Deny sontak kaget melihat ekspresi Tito yang seperti ingin menelannya. "Kenapa? Biasanya juga kau dipanggil begitu,"

     "Mulai hari ini jangan!" tegas Tito.

     Deny jadi makin heran. Ada apa dengan temannya itu. Kening Deny yang kelam sekelas malam makin mengerut.

     "Lalu aku harus memanggilmu apa?" tanya Deny. "Eka Kurniawan? Faisal Oddang? Atau.. Seno Gumira Ajidarma?" Deny menyebut nama-nama penulis favorit Tito lalu tertawa.

     Tito bingung harus bagaimana menanggapi persoalan ini. Karena ia tahu Deny tidak tahu apa-apa mengenai masalah yang tengah mendera hatinya. Dan menurutnya Deny memang tak harus tahu jikalau panggilan namanya itu kini terdengar seperti ejekan untuknya. Tito lantas hanya memberi tatapan sinis dan berlalu. 

                                        ***

     Sejak tadi di sudut bangku perpustakaan itu, Tito tidak bisa konsentrasi membaca buku. Kata-kata ketus Tante Tiar hingga sekarang masih terus terngiang. Membuat batok kepalanya terasa kebat-kebit.

     "Mau jadi apa kamu nanti?!"

     Tito merasa pertanyaan itu sangat penting baginya sebagai seorang laki-laki yang hendak dewasa.

     Tito melepas kaca mata dan menaruhnya di meja. Kepalanya ia pijit sebentar lalu duduk bersandar. Matanya kemudian menerawang ke langit-langit.

     Tuhan, kenapa otak Ayah yang diwariskan padaku. Kenapa bukan otak Ibu?

     Kerja Ayah seharian hanya bermalas-malasan di warung, duduk membaca atau menonton berita sambil minum bergelas-gelas kopi dan menghisap berbungkus-bungkus rokok. Andaikata Ayah bergerak, itu pun bila ada orang yang membeli. Dan Warung itu pun ada berkat modal yang diberikan Ibu.

     Entah bagaimana mereka bisa bertemu dan menikah. Dari cerita yang kudengar, sebagaimana budaya orang duhulu, mereka berdua terperangkap dalam perjodohan keluarga yang tak bisa mereka elakkan.

     Setelah menikah mereka berdua merantau ke Jakarta, memulai semua sebagai sepasang suami-istri yang belum punya apa-apa.

     Tetapi karena otak Ibu encer dan bekerja keras maka ia sukses. Sekarang ia sudah menjadi kepala cabang di bank swasta ternama. Gajinya besar. Oleh karena itu aku bisa bersekolah di yayasan Katolik ini. Ah, andai saja otak Ibu yang aku miliki.

     Tapi kalau aku pikir-pikir, nilai raporku jelek bukan karena aku malas belajar. Semua pelajaran  yang mendapat nilai jelek di rapor sudah aku usahakan untuk perbaiki.

     Aku sudah ikut les di sana-sini, tetapi entahlah, hasilnya nihil. Kalaupun ada pelajaran yang nilainya naik paling-paling hanya mengalami peningkatan satu angka. 3 menjadi 4. Atau 4 menjadi 5. Itu sebabnya semenjak SD sampai sekarang aku SMA, rankingku selalu masuk lima besar - dari bawah.

     "To, Tito,"

     Tito terhenyak dari lamunan begitu ada seseorang yang mencoleknya. Ia alihkan matanya ke sumber suara itu dan terkejut.

     "Pak Tudu?!" Tito lekas berdiri dan menunduk. Segan.

     Sekilas guru bahasa Indonesia itu melirik buku yang tadi tengah dibaca Tito.

     "Lagi baca apa?" tanya pak Tudu.

     "Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu," jawab Tito.

     Tito kemudian tersadar. Ia telah memberi jawaban yang sangat ambigu.

     "Maksud saya, pak,"

     "Iya, saya tau," potong pak Tudu. "Itu judul cerpen Hamsad Rangkuti, kan?"

     Tito menghembus nafas lega. Syukurlah kalau gurunya itu tahu. Tadi dia sempat khawatir jika gurunya itu salah mengartikan maksud dari ucapannya. Pak Tudu kemudian menyodorkan sejumlah uang padanya.

     "Ini komisi dari cerpen kamu yang terbit di majalah," ujar pak Tudu sembari meletakkan sebuah majalah di meja tempat Tito tadi  membaca.

     Tito mengalihkan pandang ke majalah itu dan kembali menatap pak Tudu.

     "Cerpen saya?" tanya Tito bingung. Pasalnya ia merasa sekalipun tak pernah mengirimkan cerpen ke salah satu majalah. Menulis cerpen saja seingatnya tidak pernah.

     "Kamu ingat, kira-kira sebulan yang lalu saya pernah memberi tugas membuat cerpen?"

     Tito terdiam. Matanya memicing. Ia coba memutar ulang ingatannya ke belakang.

     "Hari ini, karena bertepatan dengan hari raya Valentine, saya memberi tugas pada kalian untuk menulis cerita pendek tentang kasih sayang. Tidak melulu soal pacar. Bisa tentang Orangtua, Adik, Kakak, atau Sahabat. Terserah. Lalu tugas itu nanti kumpulkan di meja saya,"

     "Ah!"

     Tito segera mengingatnya. Ya! Tito sangat ingat. Karena bersamaan di hari itu pula cintanya ditolak oleh Mira, siswi pujaan hatinya di sekolah. Dan karena peristiwa itu pula lah Tito kemudian menuliskan pengalamannya sendiri. Tito tersedu-sedu ketika menulis cerita pendek itu.

     "Iya, saya ingat, pak!" ujar Tito.

     "Kalo begitu ambil, lah,"

     Tito meraih uang itu dengan perasaan yang masih tak percaya.

     "Cerpen kamu bagus, jadi saya coba kirim ke majalah. Sayang kalau cuma jadi tugas sekolah saja,"

     "Makasih! Makasih banyak, pak!"

     Tito berulangkali menunduk-nunduk di hadapan pak Tudu sebab tidak tahu lagi harus bagaimana berterima kasih pada gurunya itu.

     "Kembangkan terus bakat menulis kamu," imbuh Pak Tudu tersenyum, lalu pergi.

     Tito terus menatap punggung pak Tudu yang semakin jauh dengan tatapan yang simpatik. Sebelum kemudian ia mengalihkan pandang ke majalah itu lagi dan gegas mencari halaman yang memuat cerita pendeknya. Ada di halaman tengah.

     Cinta Ditolak Cerpen Bertindak, karya Tito Rajagukguk

                                         ***

     Ada rasa bangga yang tiba-tiba tumbuh di hati Tito pada dirinya sendiri. Dan untuk pertama kali Tito merasakan itu dalam hidupnya. Sedari tadi ia berulangkali membaca cerpennya sambil berbaring di kasur dengan mata yang bercahaya.

     "Kembangkan terus bakat menulis kamu,"

     Pesan Pak Tudu tiba-tiba terngiang di kepala Tito.

     Tito merenung, dan sejurus kemudian pikirannya tergugah pada sesuatu yang membuatnya penasaran.

     Tito menaruh majalah itu di kasur dan beranjak membuka lemari kamarnya.
Dari dalam lemari jati itu Tito meraih sebuah koper kulit, tempat di mana ia menyimpan dokumen-dokumen penting.

     Lantas, dari dalam koper itu, Tito mengeluarkan rapor SD, SMP, dan SMA-nya. Tito amati satu-persatu dengan cermat setiap nilai mata pelajaran di rapor-rapor itu. Makin diamatinya makin ia tercenung.

     Sejak SD, SMP, dan kini duduk di kelas dua SMA nilai pelajaran Bahasa Indonesianya selalu bagus. Bahkan terbilang sangat bagus. Nilainya tak pernah di bawah 9. Angka yang sangat mencolok di antara mata pelajaran lainnya yang mendapat nilai 4 dan 5. Sungguh Tito tak sadar akan hal itu.

     Perhatiannya selama ini hanya terfokus pada ranking dan mata pelajaran yang nilainya buruk saja, sampai-sampai apa yang bisa dilakukannya dengan sangat baik luput dari perhatiannya.

     Perlahan Tito mengalihkan pandang ke lemari buku di sudut kamar. Jejeran buku-buku dongeng dan sastra yang ia beli dan begitu gemar dibacanya sejak SD terkumpul di sana.

     Kini semua tersingkap. Pertanyaannya mengapa ia bisa membuat cerpen yang bagus dan diterbitkan di majalah. Ini berkat Pak Tudu, batinya. 

                                         ***

     "Mas.. mas Tito," panggil si pembawa acara.

     Tito terhenyak. "Ya?!" katanya lalu mengedarkan pandangan. Tito kembali tersadar bahwa saat ini ia tengah berada di satu acara talkshow.

     "Sekarang giliran mas Tito yang menjawab," ujar  pembawa acara itu ramah. 

     "Siapa orang yang paling berjasa dalam hidup mas Tito sampai bisa jadi penulis yang sukses seperti sekarang?"

     Sebentar Tito memperbaiki posisi duduknya. Lantas menjawab pertanyaan itu.

     "Pak Tudu. Beliau guru Bahasa Indonesia saya waktu SMA. Nama lengkapnya, Patudu Dalan. Beliau lah orang yang paling berjasa bagi saya. Sesuai dengan arti namanya," terang Tito.

     "Memang apa arti dari nama beliau?"

     "Petunjuk Jalan," jawab Tito, tersenyum puas. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun