Udara berbau karbon, sumpah serapah pemilik kendaraan yang bersenggolan, kemacetan, kembali di depan mata.
Kau menengadah menatap aksa bintang yang jauh di atas kepala.
Waktu yang melaju. Tinggalkan detik-detik berlalu.
Lalu apa yang kamu cari? Apakah parade burung-burung camar yang berarak pulang,
Kapan terakhir kali kita memasukkan rupiah ke pundi-pundi amal, tanpa menengadahkan kepala kepada Tuhan lalu menodong dengan halus.
Di antara gelap, aku mengintip cahaya atau mungkin cahaya itu yang mengintipku?
Puisi ld: Beras yang bikin mabuk kepayang Kini hargamu melayang
Beristirahatlah, hai jiwaku, nikmatilah kedamaian. Kecaplah indahnya senyap yang disodorkan semesta.
Jarang sekali harga bisa bersahabat dengan rakyat jelata. Malah lebih sering berkelahi, gontok-gontokan, sampai berdarah-darah.
Di bumi yang berseri Aku menari mengikuti nafas kehidupan Mengalir seiring jarum jam yang berdenting Tak... tik...
Puisi ld: Dengan riang Menyambut fajar esok hari Berlari
Asap di atas cangkir kopi luruh di dalam kabut yang menyelimuti lereng bukit. Hanya kabut sejauh mata memandang dan pucuk pinus yang mengintip.
Hei lihat, ada bintang jatuh, kata orang waktunya mengirim harapan pada langit.
Buta-buta yang bisu terkungkung panorama mega. Tidak. Tidak untuk jiwa yang bebas
Waktunya menunjukkan perasaan, lewat kata-kata, puisi, pesan, lewat cokelat atau bunga dan lewat tinta di ujung jari.
Harapan jua yang membuat kita beramai-ramai menggerakkan kaki menuju TPS masing-masing.
Pada jam-jam yang dihabiskan di depan layar gawai dan cumbu rayu serta puja-puji virtual mereka berharap pada semesta.
Jadi, biarlah bahuku, bahumu, bahu-bahu kita, ditegarkan waktu dan rindu yang bisa begitu tak bertepi