Ia membuat banyak orang menangis lewat puisinya, namun saat wafat, tak ada yang menangis. Al-Khansā’ pergi dalam diam, abadi dalam syair.
Ia kehilangan empat putranya dalam perang, tapi tak menangis. Al-Khansā’ memilih syukur, dan membungkus duka dalam keikhlasan yang abadi.
Kehilangan kakaknya Ṣakhr membuat al-Khansa’ menangis setahun penuh—luka itu ia abadikan jadi syair yang menggema sepanjang zaman.
Dikenal cantik dan tajam lisan, Al-Khansā’ memilih prinsip di atas cinta. Masa muda dan pernikahannya penuh pelajaran tentang martabat perempuan.
Lingkungan keras gurun Najd membentuk al-Khansā’ jadi sosok perempuan kuat, penyair tajam, dan simbol budaya Arab yang menggugah.
Al-Khansa’, penyair perempuan legendaris dari Arab, menorehkan jejak sastra dan keberanian yang melampaui batas zamannya.