Kematian sering kali menjadi penutup yang jelas dalam kisah hidup manusia. Namun bagi al-Khansa', penyair agung perempuan dari Jazirah Arab, kematian justru melanggengkan misteri. Hidupnya diselimuti ratapan dan ketegaran. Wafatnya dibungkus diam, seperti sunyi padang pasir yang tak lagi disapa angin.
Hampir semua babak hidup al-Khansa' telah ditulis: masa kecil yang sederhana, kecantikan yang memesona, penolakan atas banyak lamaran, kehilangan saudara tercinta akhr, keikhlasan sebagai ibu para syuhada, dan kebijaksanaan sebagai Muslimah. Namun, ketika sampai pada akhir hayatnya, riwayat seolah kehilangan kata.
Teka-Teki yang Tak Terjawab
Kapan tepatnya al-Khansa' wafat, tidak diketahui secara pasti. Seperti kelahirannya yang tak tercatat, kematiannya pun menimbulkan perdebatan panjang. Sebagian menyebut ia meninggal sekitar tahun 26 H / 646 M, yang lain mengatakan 24 H, bahkan ada yang berpendapat hingga 50 H atau 680 M. Rentang spekulasi itu menunjukkan satu hal: tidak ada catatan pasti tentang momen kepergiannya.
Hal ini seakan mencerminkan karakter al-Khans' sendiri---seorang perempuan yang menyimpan kesedihan dalam-dalam, yang lebih suka menyendiri setelah kehilangan demi kehilangan, dan akhirnya menghilang dari keramaian tanpa upacara.
Yang kita tahu pasti hanyalah satu: ia wafat setelah menyaksikan keempat putranya gugur di medan jihad, dalam Perang al-Qadisiyyah. Kepada Rasulullah , ia pernah membacakan syair. Tapi kepada dunia, ia tidak menitipkan pesan wafatnya.
Sebuah Kepergian yang Tak Diratapi
Al-Khansa' dikenal karena puisinya yang membuat para pendengar menangis. Ia menyayat hati lewat kata-kata, meratap dengan keindahan yang menyakitkan. Ironisnya, saat ia sendiri wafat, tak ada yang menangis untuknya. Tak ada bait ratapan. Tak ada catatan panjang mengenangnya. Hanya keheningan yang menyelimuti jejak terakhir hidupnya.
Ia telah kehilangan begitu banyak---kakak, suami, anak-anak, masa muda, bahkan mungkin keyakinan akan dunia. Maka ketika ajal datang, mungkin ia telah lelah. Ia menerima kematian bukan sebagai tragedi, tetapi sebagai peristirahatan.
Penutup: Ia Hidup dalam Ratapannya