Jika dunia Arab mengenal al-Khansa' sebagai penyair elegi terbesar di masanya, maka di balik puisi-puisinya yang mendalam dan menyayat hati, terdapat sosok saudari yang tak tergantikan dalam kasih dan kesetiaan. Hubungannya dengan akhr, sang kakak, bukan sekadar hubungan darah, tetapi ikatan jiwa yang menjelma menjadi kekuatan kreatif yang abadi.
Antara Kakak dan Adik: Ikatan yang Lebih dari Sekadar Keluarga
Sejarah mencatat banyak kisah tentang al-Khansa' dan hubungannya dengan saudaranya akhr. akhr bukan hanya pelindung, tapi juga tempat berlabuh jiwa al-Khansa'. Ketika akhr wafat karena luka perang, dunia al-Khans' runtuh. Ia bukan hanya kehilangan seorang saudara, tapi juga kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
Kesedihan itu tidak berlalu begitu saja. Ia mengaku, "Demi Allah, aku menangisinya selama setahun penuh setelah kematiannya." Bagi al-Khansa', kehilangan akhr bukan hanya luka keluarga---itu adalah tragedi eksistensial. Dalam banyak puisinya, ratapan itu menjadi sangat nyata, bukan karena berlebihan, tapi karena begitu jujur dan dalam.
Menolak Pelipur Lara: Duka yang Tak Terobati
Setelah akhr tiada, berbagai upaya dilakukan orang-orang untuk menghibur al-Khansa'. Namun tak ada yang berhasil. Saudaranya yang lain, Mu'awiyah, bahkan mencoba menjodohkannya dengan seseorang agar ia melupakan duka. Tapi al-Khans' menolak keras. Ia tidak siap membuka lembaran baru karena lembaran lama belum selesai ditulis---ia masih berada dalam bab kehilangan.
Ia tidak menemukan pengganti akhr, tidak sebagai pelindung, teman bicara, atau penopang batin. Tak ada siapa pun yang bisa menampung kesedihannya. Dalam kesendirian itu, ia menulis. Menangis. Membacakan puisinya. Ia tidak hanya kehilangan seorang kakak, tapi juga kehilangan pelindung bagi anak-anaknya, terutama setelah sang suami wafat.
Ratapan yang Menjadi Warisan
Al-Khansa' tak pernah berhenti menyebut nama akhr. Bahkan di hadapan anak-anaknya sendiri, nama sang pahlawan tetap menjadi sumber cerita dan air mata. Jika ia sedang tertawa, nama akhr bisa menghentikan tawanya dalam sekejap dan menggantinya dengan isak haru. Ia menyebut, mengenang, dan menangis---seolah akhr tidak pernah benar-benar pergi.
Tragedi ini menjadikan al-Khans' sosok yang manusiawi dan tak terlupakan. Dalam dunia Arab klasik yang keras dan maskulin, ratapan seorang perempuan justru menjadi pengingat tentang sisi lembut dan rapuh kemanusiaan. Ia mengubah kesedihan menjadi kekuatan. Ia mengabadikan cinta saudari kepada saudaranya dalam bait-bait syair yang hidup berabad-abad kemudian.