Mohon tunggu...
Tabrani Yunis
Tabrani Yunis Mohon Tunggu... Guru - Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Banyak Orangtua Tidak Konsisten Mendidik Anak

10 Mei 2019   10:54 Diperbarui: 10 Mei 2019   11:45 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Tabrani Yunis

Pagi Kamis, 9 Mai 2019, tepatnya pukul 10.33 WIB aku ditelpon oleh staf Metro TV Aceh untuk menjadi narasumber pada acara talkshow  dengan durasi 30 menit pada pukul 13.30 WIB. Ya, siang hari, usai salat dhuhur di Aceh. 

Tema yang diangkat pada talkshow kali ini masih tentang pendidikan. Aku diundang  dalam kapasitas seorang praktisi dan pemerhati pendidikan. Aku sudah sering diajak ngobrol soal pendidikan, termasuk soal literasi yang juga menjadi concern atau bidang yang selama ini aku geluti. 

Tema pendidikan yang disesuaikan dengan konteks bulan Ramadan sebagai bulan tarbiyah atau bulan pendidikan bagi umat Islam yang melaksanakan ibadah puasa. Maka, di awal talkshow, Habibi, penyiar Metro TV Aceh yang menjadi lawan bicara dalam acara Dialog Ureung Geutanyoe ( Dialog orang kita) mengajukan sebuah pertanyaan  awal kepadaku. 

Pertanyaannya, dalam momentum bulan Ramadan ini, kegiatan pendidikan seperti apa yang sesuai untuk diberikan kepada anak-anak untuk mengisi waktu selama bulan Ramadan ini. 

Untuk merespon terhadap pertanyaan itu, aku coba berbalik bertanya, pendidikan oleh siapa? Oleh orangtua? Guru ( sekolah)? atau masyarakat?

Banyak sekali hal yang ingin dibicarakan dalam talkshow singkat yang berdurasi hanya 30 menit tersebut. Jelas saja, tidak semua hal bisa tercover untuk diperbincangkan. Namun di antara sekian banyak yang menarik untuk diperbicangkan. 

Ada hal yang justru paling menarik untuk diperhataikan bersama.  Ada fenomena atau realitas kekinian yang sedang terjadi. Di tengah derasnya arus disorientasi di bidang pendidikan yang bermuara ke persoalan rendahnya kualitas mentalitas, moral atau akhlak anak-anak kita di era digital ini, ada banyak orangtua yang tersadar dan terjaga dari kelalaian dalam mendidik anak-anak mereka.  

Ketika anak-anak mereka tumbuh menjadi generasi yang pintar, namun miskin akhlak. Hal ini, menjadi kerakutan kebanyak orangtua. 

Maka, di tengah kegalauan tersebut, para orangtua berusaha mencari sekolah-sekolah yang bukan hanya berkualitas dalam pendidikan umum, tetapi juga berkualitas dalam bidang agama. Sehingga ketika lulus sekolah, anak-anak mereka bukan hanya pintar dan cerdas dalam pengetahuan umum, tetapi juga berakhlak mulia.

Nah, berangkat dari kegalauan, ketakutan atau kekhawatiran terhadap demoralisasi yang kini terus menggeranyangi generasi sekarang, maka tidak ada pilihan lain bagi para orangtua, terutama yang berlatar belakang ekonomi bagus, mereka memilih sekolah-sekolah berlabel unggul, Islam terpadu, islam cendikia dan lain-lain, agar anak-anak mereka bisa belajar dan melatih dalam model pembelajaran yang berakhlak. 

Anak-anak akan menjadi genarsi yang berakhlak mulia, sebagai generasi bangsa yang diharapkan oleh founding father bangsa Indonesia ini. Ramainya orangtua yang berlomba-lomba mencari sekolah-sekolah yang berkualitas dan agamis tersebut, membuat banyak pihak yang melihat kebutuhan itu adalah peluang bisnis di bidang pendidikan. 

Maka, semakin bermunculan sekolah-sekolah yang berlabel IT, Unggul dan bahkan Qurani. Sungguh ini adalah sebuah kesadaran baru yang baik dan perlu kita apresiasi yang diinisiasi oleh para orangtua. Namun, sayang sekali, semakin banyak orangtua teridentifikasi sebagai orangtua yang tidak konsisten.

Dikatakan tidak konsisten adalah ketika banyak orangtua yang menginginkan anak-anak mereka tumbuh dan berkembang dengan berakhlak mulia, di mana anak-anak menapatkan asupan gizi pendidikan karakter, pendidikan akhlak yang baik di sekolah, namun sangat banyak orangtua yang tidak berjalan seiring dengan keinginan menyekolahkan anak di sekolah yang berlabel IT atau cendikia, atau malah Qurani tersebut. 

Dengan kata lain, anak-anak belajar dan mengikuti teladan yang baik dan berakhlak mulia di sekolah, tetapi mereka kehilangan teladan di rumah. Misalnya, ketika anak belajar adab di jalan raya dari guru di sekolah, kita tidak boleh menerobos lampu merah dan sebagainya, lalu ketika orangtua mengantar dan menjemput anak dari sekolah, semua yang dipelajari dan diteladani oleh anak di sekolah, dihancurkan oleh orangtua yang kerap melanggar aturan di jalan raya. 

Contoh lain, ketika anak belajar hidup bersih di sekolah, anak dilarang membuang sampah sembarangan, lalu ketika orangtua mengantar dan menjemput anak dari dan ke sekolah, orangtua baik yang ekonomi lemah maupun yang kaya raya, memperlihatkan perilaku buruk dalam membuang sampah. 

Kita sering melihat orangtua yang dengan mobil-mobil mewah membawa anak-anak mereka,dalam perjalanan mereka membuang sampah sembarangan, membuang sampah dari mobil ke jalan. Kalau begini perilaku orangtua, bagaimana kita berharap anak-anak kita akan berakhlak mulia?

Anehnya lagi, banyak orangtua yang menyerahkan pendidikan akhlak tersebut ke pihak sekolah. Padahal, bila kita melihat dan mempelajari konsep pendidikan, sesungguhnya rumah adalah awal dari segalanya. Kalau anak mendapatkan pendidikan akhlak di rumah dengan baik dan berkualitas, maka ketika anak berada di sekolah, di masyarakat, anak akan tetap berakhlak mulia. 

Dalam teori pendidikan, rumah adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Anak pertama belajar dan banyak belajar dari bagaimana orangtua mereka mengajarkan hidup. Dengan demikian,tanggung jawab pertama dan utama dalam membangun dan mendidik anak menjadi berakhlak berada di tangan orangtua. 

Lalu, bagaimana dengan pihak sekolah? Jawabnya, sekolah bukan penanggung jawab utama dan pertama. Maka, jangan terlalu berharap sekolah akan sukses melakukan pendidikan karakter atau pendidikan akhlak, apabila orangtua sendiri tidak memiliki akhlak yang mulia. 

Pertanyaannya adalah bagaimana kita mengajarkan anak kita berakhlak mulia, apabila kita sendiri sebagai orangtua tidak menjadi panduan bagi anak? jadi, ingatlah bahwa tanggung jawab, peran dan usaha membangun akhlak anak yang mulia itu ada di tangan orangtua, bukan hanya di sekolah, apalagi di masyarakat.

Jadi, kalau orangtua ingin anak-anak bisa menjadi generasi yang berakhlak mulia, kuncinya ada di rumah. Bukankah dalam teori pendidikan, teorii tabularasa, disebutkan bahwa anak itu lahir bagikan kapas putih. Orangtualah yang akan mengubah apakah anak akan tumbuh menjadi baik atau menjadi buruk. 

Lalu, dalam konsep pendidikan yang menganut tri pusat pendidikan, seharusnya tripusat pendidikan tersebut, keluarga, sekolah dan masyarakat, bersinergi dan saling membantu, mengontrol perkembangan anak. 

Sayangnya, tripusat pendidikan yang seungguhunya ideal, sudah tidak lagi bersinergi, karena banyak faktor yang mempengaruhi pola kehidupan yang akhirnya mempengaruhi pola pendidikan kita. 

Pertanyaannya adalah maukah kita kembali menjadi orangtua yang konsisten? Maukah kita merajut kembali tali rabat tri pusat pendidikan yang selama ini sudah terberai? Mari kita berfikir dan berkontemplasi. Selamat berpuasa, bagi yang melaksanakannya. Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun