Mohon tunggu...
aldi tabrani
aldi tabrani Mohon Tunggu... Lainnya - Allegans contraria non est audiendus

Mahasiswa Hukum Internasional dan Eropa The Hague University di Den Haag, Belanda.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Stereotip PTN dalam Pendidikan di Indonesia

20 Mei 2018   21:41 Diperbarui: 21 Mei 2018   22:47 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seseorang  yang kemampuan melukisnya mengalir di darah daging tidak bisa dipaksakan belajar Hukum, begitu pula calon koki handal yang tidak akan mampu belajar pasar modal dalam akuntansi. Memang rasanya lucu, sejak kecil kita dididik oleh sistem pembelajaran yang buruk. Sistem kehidupan kita yang bersifat kapitalisme memaksakan kita untuk bersaing, sehingga tak salah apabila sekolah memberlakukan ranking, gpe, juara dan hal-hal lain nya untuk menentukan sintasan yang terbugar (survival of the fittest) dalam lingkungan belajar. 

Namun sekolah tidak pernah bisa menentukan tolak ukur persaingan tersebut, untuk Ranking tertinggi maka semua siswa harus mampu mencapai nilai sempurna di setiap mata pelajaran. Hasilnya? Kita lihat sendiri, bahwa Sekolah tidak mencerminkan kondisi nyata kehidupan manusia. Mereka yang lulus dengan nilai yang dahsyat masih banyak yang kalah dengan mereka yang biasa-biasa saja atau bahkan tidak memiliki ijazah. 

Lantas apa tujuan nya siswa bersusah payah menjadi ranking 1 sekolahnya apabila hal itu tidak menjamin mereka? Selain sekolah, peran orangtua yang hanya mau berpikir secara pragmatis juga menjadi alasan utama kegagalan siswa. Kebanyakan orangtua Indonesia masih memiliki pola pikir kuno dengan kadar gengsi sosial yang cukup tinggi. Dalam benak pikirannya, pendidikan yang bagus bagi anaknya berarti masuk Perguruan tinggi Negeri lokal dengan jurusan yang dicari industri.

Tidak peduli kemampuan maupun kemauan anak itu sendiri, asal masuk PTN tersebut maka tugas mereka sudah beres. Mereka tak sadar bahwa menghalangi passion serta pilihan terpenting dalam hidup anak merupakan hal yang sangat keliru, apalagi dari sisi psikologis. Tanpa disadari juga, justru kesuksesan di sistem kapitalisme modern dan revolusi industri keempat di masa kini sudah tidak lagi terpaku pada lulusan Hukum ataupun teknik. Kebanyakan dari mereka justru bebas dalam menuntut ilmu, tidak dikekang, berpikir secara terbuka dan bekerja untuk passion nya. 

Mengutip pernyataan penuh retorika dari Bapak kemerdekaan Indonesia, Bung Karno: 

"Beri aku 1000 orangtua niscaya kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 10 pemuda yang membara maka akan kuguncangkan dunia". 

Intinya bukan berarti Bung Karno bermaksud mendiskreditkan orangtua dan mengagungkan pemuda, tetapi dari sinilah dapat kita lihat bahwa pemudalah yang bertanggung jawab mengambil estafet api perjuangan yang sudah dipanaskan terlebih dahulu oleh generasi tua. 

Ada juga puisi karya Kahlil Gibran yang menyerukan hal serupa: 

"Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu
Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri

Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu
Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu
Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun