Mohon tunggu...
Lupin TheThird
Lupin TheThird Mohon Tunggu... Seniman - ヘタレエンジニア

A Masterless Samurai -- The origin of Amakusa Shiro (https://www.kompasiana.com/dancingsushi)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kuil Eigenji dengan Pesona Musim Gugur, Suara Burung, dan Gemercik Air

18 Oktober 2020   09:47 Diperbarui: 18 Oktober 2020   12:17 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan disekitar pintu masuk utama kuil (dokpri)

Pada cuaca secerah ini
Jika kuletakkan sebuah koto *
Tak tahan akan keindahan musim gugur
Pasti melantunkan nada lirih

*alat musik petik tradisional Jepang
Musim gugur, entah kenapa selalu membawa saya ke atmosfer romantis. 

Mungkin karena keindahan hamparan dedaunan berwarna kuning, merah, oranye tersebut bisa membuat saya terhipnotis. Sehingga perasaan menjadi berbunga-bunga dan mabuk kepayang.

Saya menduga hal yang sama juga dirasakan oleh Yagi Juukichi. Dia adalah seorang penyair Jepang yang hidup pada era akhir Meiji dan awal era Showa. 

Sehingga lahir puisi karyanya, seperti sudah saya terjemahkan bebas pada awal tulisan. Kali ini, saya bukan ingin membawa Anda mabuk kepayang. 

Namun ingin mengajak pembaca untuk menikmati keindahan daun-daun musim gugur di Kuil Eigenji.

Paduan bagian bangunan yang disebut sumimune-onikazari dan daun momiji (dokpri)
Paduan bagian bangunan yang disebut sumimune-onikazari dan daun momiji (dokpri)
Saya akan bercerita sedikit mengenai kuil ini.
Eigenji adalah kuil Budha di Prefektur Shiga, dan merupakan kuil dari aliran Rinzai. Kuil ini didirikan pada tahun 1361 oleh Jakushitsu Genkou.

Dalam perjalanan sejarahnya, Kuil Eigenji juga sempat jatuh bangun. Bahkan akibat perang besar yang terjadi pada tahun 1492 dan 1563, seluruh bangunan kompleks kuil terbakar habis.

Berkat bantuan dari kaisar Gomizuno-o yang berkuasa pada masa itu, penguasa daerah Hikone dari klan I-i, maupun dari kuil lain yang mempunyai hubungan erat dengan Eigenji, maka kuil sedikit demi sedikit dapat dibangun kembali. Sehingga bangunan di area kompleks pun akhirnya bisa menjadi seperti sediakala.

Oh ya, saya ingin bercerita tentang satu cerita menarik yang berhubungan dengan kuil. Dahulu ada penguasa bernama Rokkaku Mitsutaka. Dia sudah lama tidak dikaruniai keturunan. 

Tentu hal ini menyebabkan Mitsutaka sedih, sebab sebagai penguasa, kehadiran anak merupakan syarat mutlak untuk bisa mewariskan kekuasaan.

Dalam keadaan putus asa, dia kemudian berdoa kepada dewa yang dimuliakan di Kuil Eigenji. Hasilnya menggembirakan. Mitsutaka akhirnya bisa mendapatkan anak, sehingga kekuasaan bisa diteruskan kepada keturunannya.

Dengan kejadian itu, dewa yang dimuliakan di Kuil Eigenji akhirnya disebut Yotsugi Kanon. Artinya, dewa pemberi berkah kepada orang, termasuk memberi kemudahan keturunan. 

Itulah sebabnya lebih dari 600 tahun kemudian, orang masih berbondong-bondong datang ke Kuil Eigenji. Kebanyakan mereka datang untuk berdoa kepada Yotsugi Kanon, agar dipermudah mendapat keturunan. 

Sudut pemandangan lain di area kuil (dokpri)
Sudut pemandangan lain di area kuil (dokpri)
Meskipun untuk bisa sampai ke kuil ini, butuh sedikit "perjuangan". 

Dari stasiun terdekat bernama Youkaichi, saya harus naik bus selama kurang lebih 40 menit. Ditambah lagi, waktu itu bus hanya ada satu setiap jam. 

Sehingga saya harus betul-betul mengecek jam kedatangan bus saat pergi dan pulang dari kuil agar tidak ketinggalan. Karena jika alpa, waktu akan terbuang percuma hanya untuk menunggu sekitar satu jam sampai dengan kedatangan bus berikutnya.

Turun dari bus dan setelah berjalan beberapa saat di permukaan rata , saya harus melalui tangga yang lumayan panjang. 

Cukup menghabiskan tenaga memang. Untungnya, saya sempat sarapan onigiri (nasi dikepal dibungkus rumput laut kering dengan lauk didalamnya) sehingga tenaga masih banyak tersisa.

Tidak begitu lama berjalan, akhirnya saya tiba di gerbang utama kuil. Ketika menyaksikan pemandangan daun berwarna-warni disana, seketika itu juga rasa capek lenyap.

Pintu utama Kuil Eigenji dengan tulsan di kiri kanan gerbang (dokpri)
Pintu utama Kuil Eigenji dengan tulsan di kiri kanan gerbang (dokpri)
Meskipun beberapa orang sudah berada disana, suasana Eigenji bisa dibilang senyap. 

Karena memang lokasinya berada di kaki gunung, sehingga agak jauh dari pemukiman penduduk dan keramaian. Lokasi kuil juga berbatasan dengan Sungai Echigawa di sebelah timur.

Cuaca hari itu kurang bersahabat karena agak gerimis. Akan tetapi, saya lebih suka suasana seperti ini karena langit berawan bisa menambah suasana romantis. 

Apalagi awan bisa berfungsi sebagai lapisan yang bisa menurunkan kekuatan cahaya matahari, sehingga warna-warni daun menjadi lebih mencolok.

Pintu masuk ke salah satu tempat semadi (dokpri)
Pintu masuk ke salah satu tempat semadi (dokpri)
Area Kuil Eigenji sebenarnya tidak terlalu luas jika dibandingkan dengan kuil lain yang ternama di Jepang. Bangunan dalam area kompleks, berjejer memanjang sepanjang kurang lebih 300 meter.

Sambil berjalan melihat pohon kaede yang berwarna-warni, saya juga membayangkan bagaimana di tempat seperti ini, awalnya ada sekitar 2000 orang calon biksu yang belajar dan tinggal di area kuil. 

Kemungkinan besar, kompleks kuil waktu pertama kali berdiri, areanya lebih luas dari sekarang. Namun yang pasti, tempat ini memang cocok untuk berdoa dan bersemadi. 

Salah satu sudut pemandangan di area kuil (dokpri)
Salah satu sudut pemandangan di area kuil (dokpri)
Sebab suara burung yang sesekali terdengar, dan gemercik air sungai mengalir, bisa membuat hati menjadi tenang dan damai. Apalagi dipadukan dengan pesona warna-warni daun pada musim gugur.

Tidak heran jika biksu terkenal pada zamannya seperti Ousen Keisan, bahkan Isshi Bunshu pun pernah tinggal di sini.

Pesona musim gugur di Kuil Eigenji itulah yang bisa membuat saya tahan berlama-lama untuk menikmati keindahan warna-warni daun.

Saya berkeliling dan menikmati suasana kuil sekitar dua jam. Cukup lama juga ya.

Padahal jika Anda mau berjalan saja tanpa mengambil foto, karena area kuil tidak luas, maka waktu 30 menit sudah cukup untuk melihat semua bangunan dan pemandangan di Kuil Eigenji.

Kalau menyebutkan salah satu ciri dari kuil ini yang membedakannya dari kuil lain di Jepang adalah, tidak ada pembatas antara area kuil dengan lingkungan sekitar. Area kuil seperti menyatu dengan alam, terlebih karena lokasinya di kaki gunung.

Hal ini merupakan kehendak dari pendiri Kuil Eigenji, Jakushitsu Genkou.

Dia beranggapan, pembatas adalah lambang dari tindakan otoriter yang berakibat membatasi ruang dan gerak.

Dalam perjalanan pulang, saya mampir ke warung yang menjual dango (makanan dari tepung dengan wujud mirip cilok) di jalan masuk kuil dekat perhentian bus, sambil menikmati teh panas.

Banyak warung berjejer di jalan masuk ke kuil (dokpri)
Banyak warung berjejer di jalan masuk ke kuil (dokpri)
Teh panas memang minuman paling nikmat saat musim gugur, karena selain aroma dan rasanya, sekaligus juga bisa menghangatkan badan.

Selesai dari sini, sambil tersenyum puas saya kemudian berjalan dan ikut antrean di perhentian bus. Mungkin banyak orang Jepang yang heran melihat saya tersenyum sendirian saat itu.

Ah, biar saja.

Mereka tidak tahu, bahwa saat itu raga saya terasa hangat, dan pesona musim gugur merasuk sukma sampai yang terdalam, sehingga membuat hati berbunga-bunga.

Selamat berakhir pekan.

Lokasi dekat pintu masuk kuil yang dekat dengan sungai (dokpri)
Lokasi dekat pintu masuk kuil yang dekat dengan sungai (dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun