Mohon tunggu...
Syifa Amalia
Syifa Amalia Mohon Tunggu... Penulis - Pencerita

Kadang nulis, kadang nonton film || Find me on Instagram @syifaamaliac.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan

20 April 2020   12:54 Diperbarui: 20 April 2020   13:11 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

          Kereta yang seharusnya membawaku ke Jogja itu sudah pergi sejak setengah jam yang lalu. Bukan ia yang pergi terlalu cepat tetapi aku sendiri yang sengaja menepi dan bersembunyi. Memilih untuk tidak ingin ditemukan oleh siapapun. Untuk beberapa saat, aku membiarkan tubuhku membeku, merasakan desiran angin menerpa tubuhku yang ringan, aku tidak kemana-mana. Aku masih di sini, masih memandang nanar pada arah kereta yang silih berganti datang. Ada yang datang, ada yang pergi, kecuali aku. Orang-orang berganti setiap waktu, kecuali aku. Semua orang berubah, kecuali aku. Aku tidak kemana-mana. Hanya menunggu kapan hal itu tiba untuk kedua kalinya.

            Tidak akan lama, jam dinding tua stasiun itu akan berdenting panjang. Menandakan waktu akan menujukkan pukul 12 tepat. Setelah cukup puas menyaksikan kereta yang setiap saat berganti, aku beralih memusatkan pandanganku pada jam tua itu. Benda tua yang warnanya sudah mulai memudar. Mulai usang dan sedikit bercampur dengan warna karat.

            Mungkin, sebentar lagi. 

            Aku berusaha menyakinkan dalam hati. Sigi akan datang. Butuh berapa waktu lagi, lima belas menit, satu jam, atau bahkan sampai esok pagi, sampai kereta menuju Jogja akan datang lagi. Aku sungguh tidak sabar mendengar kelanjutan cerita Sigi yang dulu sempat terhenti. Tempat antah berantah mana lagi yang berhasil ia datangi. Sigi selalu punya cerita baru yang siap ia bagikan padaku setiap pertemuan kami.

Masih hangat di ingatanku kala pertemuan terakhir kami tempo hari, ia datang dengan cerita baru bahwa kini ia sudah berhasil menaklukkan gunung tertinggi di Jawa. Matanya tak pernah berhenti berbinar selama bercerita. Aku memasang baik-baik telingaku, seolah tidak ingin melewatkan satu katapun dari Sigi. Barangkali kali ini sama atau bisa saja berbeda. Entah gunung atau laut mana lagi yang berhasil ia selami. Dia tak bisa berhenti tertawa saat bercerita tentang pengalamannya berenang bersama ikan-ikan yang terasa menggelikan sekaligus menakjubkan.

            "Luh, kamu tahu rasanya bebas?" tanya Sigi suatu ketika. Aku memang tidak tahu apa-apa. Jadi aku menggeleng saja membiarkan Sigi menberitahukan segalanya.

            "Serius?" pekiknya sekali lagi, seolah tidak percaya. Kemudian dia berhenti sejenak, matanya menerawang jauh ke arah kereta yang sedang berhenti di sudut sana. Mengambil napas panjang lalu menghembuskannya pelan. "bebas adalah ketika kamu bisa menjadi dirimu sendiri."

            Aku tersenyum, Sigi juga.

            Laki-laki itu adalah seorang pejalan kaki yang hebat. Ia sanggup berjalan sepanjang apapun demi melihat apa yang ia ingin lihat. Ia juga seorang pendaki gunung sekaligus penyelam yang handal. Dia menganggap dirinya adalah seorang manusia amfibi. Lucu sekali. Katanya, dia bisa menaklukkan alam apapun. Dia menyukai setiap perjalanan yang ia lalui. Karena dalam sebuah perjalanan, selalu mengajarkan Sigi bahwa hidup selalu punya tujuan. Aku rasa Sigi selalu punya tujuan dalam hidupnya. Sebab manusia tanpa tujuan itu adalah aku.

            Aku tidak pernah mengenal Sigi dengan baik sebelumnya, laki-laki itu muncul begitu saja ketika aku sedang menunggu sebuah kereta menuju tempat kerjaku. Semenjak itu kami jadi sering bertemu, setiap kali kami sedang menunggu kereta kami masing-masing. Kami selalu duduk berdampingan di kursi tunggu, meskipun tujuan kami tidak pernah sama. Sigi selalu dengan tas besarnya, celana jeans selutut, kadang-kadang dengan celana belel yang sudah tampak lusuh. Entah sudah berapa abad, ia berulang kali memakainya. Tak pernah ketinggalan, sepatu bot yang melengkapi setelan khas Sigi.

            Setiap kami bertemu, dia selalu punya tujuan baru yang selalu berbeda. Menelusuri sejarah setiap tempat yang ia lewati. Kami bertemu dan berpisah di stasiun ini. Mungkin itu yang indah dari setiap pertemuan. Semesta selalu memberikan ruang agar dua orang bisa saling merindukan. Sigi yang merindukan petualangannya. Sementara aku yang merindukan sebuah kebebasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun