Hanya terdengar desiran air dan nyanyian merdu burung-burung. Aku sendiri tak tahu mengapa sekarang aku ada disini. Kilatan cahaya matahari menerpa permukaan laut. Ombak bergelung-gelung membelah air. Sungguh keindahan yang sangat tidak manusiawi. Tapi seperti kata orang-orang, mata tak akan pernah bisa berbohong. Mataku menatap kosong lautan. Air mataku rasanya seolah telah habis, aku sudah tak bisa menangis lagi.
Bulu kudukku berdiri, karena udara dingin yang menusuk-nusuk kulit. Dadaku rasanya sesak, seakan tak dapat bernafas. Aku menarik nafas dalam-dalam, tapi, semakin aku bernafas, semakin nyeri dadaku. Perih hatiku mengingat semua yang telah terjadi. Yang berlalu biarlah berlalu. Benar, memang, tapi omongan tak akan bisa seindah kenyataan. Aku tidak bisa merelakannya. Tubuhku bergetar, menangis tanpa suara, tanpa air mata.
Aku bercerai dengan suamiku enam tahun lalu, ia lebih memilih bersama dengan wanita lain. Hatiku hancur lebur dibuatnya. Sayatan pertama bagi hatiku. Kejadian itu tepat saat aku hendak memberitahukan kabar bahagia, aku hamil. Aku mengelus perutku, calon anakku, satu-satunya alasan hidupku. Dengan yakin, aku memutuskan untuk membesarkan anak semata wayangku itu seorang diri.
Aku masih ingat saat pertama kali ia dapat berjalan, tertatih-tatih. Kutuntun ia pelan-pelan, tangannya yang berada dalam genggamanku sangat kecil, lucu sekali. Saat ia mulai berbicara, "mama, mama". Hatiku meleleh mendengar itu. Kudekap ia erat-erat dalam pelukanku. Tiga tahun kemudian, ia sudah dapat berlari, berhitung, mengeja dan banyak lagi. Aku sudah jarang menghabiskan waktu bersama anakku. Aku fokus bekerja, demi bisa membiayai hidupnya, aku menitipkannya ke penitipan anak sesudah ia pulang sekolah. Waktu bergulir begitu cepat, tak terasa ia sudah hendak lulus TK.Â
Anakku sekarang sudah berubah menjadi gadis kecil yang cantik dan periang. Sekarang rambutnya panjang sebahu, yang selalu berkibar-kibar saat ia berlari. Tawanya selalu dapat menghiasi kehidupanku. Tapi, suatu ketika, saat aku sedang sibuk dengan pekerjaanku, ada telepon masuk. Ingin rasanya kuabaikan sebelum aku melihat nama kontaknya. Itu guru pendamping anakku. Aku mengangkatnya, sejenak hening. Aku buru-buru mengemasi barangku dan pergi tanpa sempat pamit kepada atasan dan rekan kerjaku. Ditengah jalan aku tak dapat menahan air mataku. Terus berusaha memberi sugesti positif pada diriku. Namun semuanya sia-sia.
Aku menggenggam erat tangannya, yang semakin hari kian mengecil dan kurus, yang hanya menyisakan tulang saja. Tak terbayang, ibu mana yang tak sedih melihat anaknya terbaring lemah di rumah sakit. Itu berarti sayatan kedua untuk hatiku. Tiba-tiba ia menggelinjang, matanya melotot dengan bagian putih saja. Panik, aku memanggil dokter, selama diperiksa aku menunggu di luar. Aku berusaha tetap terlihat tenang dan tangguh. Sudah empat tahun yang lalu anakku masuk rumah sakit. Ia mengidap kanker otak, kondisinya sangat mengenaskan untuk anak berusia sembilan tahun. Sekarang, tak ada rambut di kepalanya yang terselamatkan.Â
Walau begitu, ia masih berusaha ceria dan tersenyum. Aku tahu persis tentang itu. Karena pada suatu malam, ia terbatuk dan membuatku terbangun. Aku memberinya minum dan tersenyum. Setelah minuman yang ditenggaknya habis tak bersisa, ia memandang mataku dan tersenyum lebar. Senyum yang benar-benar dipaksakan. "Ma, apa aku akan mati?" Untuk sepersekian detik, aku terdiam, "Tidak, sayang, kau akan hidup. Kau harus hidup." "Sakit, ma. Aku ingin sembuh dan bermain. Aku ingin ke pantai dan bermain pasir di sana." Lidahku kelu, "Ya, sayang, tentu. Kau akan melakukannya nanti." Senyumku kali ini juga sangat dipaksakan, termasuk mataku.
Dan pagi tadi, aku mencium kening gadisku yang paling cantik itu. Ciuman terakhirku untuknya. Sebelum aku menutup jasadnya dengan kain kafan. Sayatan ketiga untukku. Wajah anak itu seperti tersenyum, senyum paling indah di dunia. Senyuman yang akan kuingat selamanya. Siang tadi, pemakaman selesai. Tetangga dan teman-teman terdekatku mengunjungi rumahku sebagai wujud rasa dukacita. Mereka yakin ini adalah jalan terbaik. Tidak, sayangnya bagiku tidak. Mataku sekarang sudah tak bisa berbohong lagi seperti dulu. Mataku sudah tak dapat 'berbicara'.
Aku teringat dengan ucapan anakku waktu itu, maka segeralah aku pergi ke pantai. Dengan hanya berjalan tanpa memakai alas kaki dengan jarak sekitar 32 mil. Sekarang kakiku bengkak dan melepuh. Kulitku berdarah-darah. Tapi sepadan dengang laut malam begitu indah untuk dipandang. Di atasku, langit malam terang benderang disinari oleh bintang dan cahaya dewi malam. Aku tahu kau disana, anakku. Aku tersenyum, senyum paling bahagiaku. Ibu akan menyusulmu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI