Setuju atau Tidak: Penutupan Program Guru Penggerak?
Program Guru Penggerak (PGP), yang diinisiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2020, resmi dihentikan per 18 Maret 2025 melalui Keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 14/M/2025. Tujuannya adalah mencetak guru sebagai agen perubahan dengan keterampilan kepemimpinan dan pedagogi inovatif. Namun, keputusan ini memicu polemik di kalangan pendidik. Dengan 140.497 guru lulus PGP hingga 2024 (data Kemendikbudristek), apakah penghentian ini langkah strategis untuk efisiensi atau justru menghambat kemajuan pendidikan? Secara kritis, keputusan ini perlu dianalisis dari berbagai sudut pandang.
Kemendikdasmen menyebutkan bahwa PGP tidak lagi relevan dengan kebijakan pendidikan saat ini, terutama karena sertifikat PGP sebagai syarat kepala sekolah dianggap membatasi. Menurut Direktur Jenderal GTKPG, Nunuk Suryani, penghapusan ini membuka peluang bagi guru berpengalaman tanpa sertifikasi PGP untuk menjadi kepala sekolah, mengingat kebutuhan mendesak akan 50.971 kepala sekolah pada 2025. Selain itu, pelaksanaan PGP yang mayoritas daring menyulitkan guru di daerah dengan akses teknologi terbatas. Saya setuju dengan alasan ini karena membuka akses lebih luas, tetapi apakah ini cukup untuk menjamin kualitas kepemimpinan?
Penghentian PGP dapat meningkatkan inklusivitas dalam sistem pendidikan. Seleksi PGP yang ketat membuat hanya sebagian kecil guru yang mampu mengikuti program ini, meninggalkan 1,6 juta guru lain (data 2024) yang belum tersertifikasi profesional melalui PPG. Dengan menghapus syarat sertifikat PGP, pemerintah memberikan kesempatan bagi guru senior di daerah terpencil untuk berkontribusi sebagai pemimpin sekolah. Misalnya, di Papua, hanya 5% guru memiliki akses pelatihan daring yang memadai. Langkah ini mendukung pemerataan kesempatan, membuat saya setuju dengan kebijakan ini dari aspek keadilan.
Secara kritis, PGP memang memiliki kelemahan struktural. Program ini dinilai melanggar UU Guru dan Dosen, yang menjamin pelatihan merata bagi semua guru. Anggaran PGP yang mencapai Rp3,029 triliun pada 2024 jauh lebih besar dibandingkan PPG (Rp93 miliar untuk 163.762 guru), namun dampaknya kurang signifikan. Selain itu, pelatihan daring PGP sering tidak efektif di daerah dengan infrastruktur terbatas, seperti Nusa Tenggara Timur, di mana hanya 30% sekolah memiliki akses internet stabil. Kelemahan ini memperkuat argumen untuk setuju dengan penghentian demi efisiensi anggaran dan aksesibilitas.
Namun, saya tidak setuju jika penghentian ini tidak diimbangi dengan program pengganti yang kuat. PGP telah menghasilkan guru-guru inovatif yang mendorong perubahan, seperti di Cianjur, di mana guru penggerak membantu pemulihan pendidikan pasca-gempa 2022. Tanpa kejelasan pengganti, semangat inovasi ini berisiko hilang. Data dari BBGP Jawa Barat menunjukkan bahwa 80% sekolah yang dipimpin guru penggerak melaporkan peningkatan budaya reflektif di kalangan siswa dan guru. Penghentian tanpa transisi yang matang dapat melemahkan momentum perubahan positif ini.
Alumni PGP, khususnya dari angkatan 6 hingga 9, menghadapi ketidakpastian pasca-penghentian. Sertifikat mereka tidak lagi diakui sebagai syarat kepala sekolah, dan transformasi BBGP menjadi BBGTK menimbulkan pertanyaan tentang dukungan lanjutan. Sekitar 30.000 guru penggerak (data 2024) merasa investasi waktu dan tenaga mereka terabaikan. Secara kritis, pemerintah perlu memberikan jaminan bahwa kontribusi mereka tetap dihargai, misalnya melalui jalur promosi alternatif. Ketidakpastian ini menjadi alasan kuat untuk tidak setuju dengan penghentian tanpa kebijakan pendukung.
Pemerintah harus segera merancang program pengganti yang lebih inklusif, seperti Program Kepemimpinan Sekolah yang mulai digagas. Program ini perlu menggabungkan pelatihan luring dan daring untuk menjangkau guru di daerah terpencil. Contohnya, pelatihan berbasis teknologi seperti yang dilakukan AWS di Jawa Barat, yang melatih 40 guru untuk mendidik 2.400 siswa, bisa menjadi model. Selain itu, anggaran pendidikan harus dialokasikan secara efisien untuk menjangkau lebih banyak guru tanpa mengorbankan kualitas. Solusi ini dapat mempertahankan semangat PGP sambil mengatasi kelemahannya.
Saya setuju dengan penghentian PGP karena kelemahan strukturalnya, seperti eksklusivitas dan inefisiensi anggaran, tetapi hanya jika pemerintah segera meluncurkan program pengganti yang lebih inklusif dan terjangkau. Data menunjukkan urgensi kebutuhan kepala sekolah (50.971 lowongan pada 2025) dan ketimpangan akses pelatihan, sehingga kebijakan baru harus fokus pada pemerataan. Namun, tanpa transisi yang jelas, penghentian ini berisiko melemahkan inovasi pendidikan. Pemerintah harus memastikan bahwa semangat perubahan yang dibawa PGP tetap hidup dalam format yang lebih adil dan berkelanjutan.
Paji Hajju