Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak dan Menantu

27 Desember 2020   05:24 Diperbarui: 27 Desember 2020   05:36 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhirnya perempuan itu datang. Ternyata aku tidak salah pesan, dia memang berselera tinggi. Dia telah mengantarkan barang bagus buatku. Biar lokal tapi kualitas nasional. Sangat elegan, rambutnya panjang terikat rapih ke belakang, mengenakan jas dan rok hitam, ditambah baju dalaman yang putih dan tas hitam di tangan kanannya, dia sangat jauh dari kesan murahan.

"Saya diutus Pak Bupati."

Ah, betapa sempurnanya. Bukan saja ujudnya yang indah, suaranya sangat nyaman di dengar.

"Boleh saya duduk?"

"Oh. Tentu. Silahkan." Kugeser tubuhku sedikit. Diapun duduk dengan anggunnya. Diangkatnya satu kaki dan kemudian disilangkan di atas kaki yang lain. Sangat profesional. Dengan rok sedikit lebih tinggi dari lututnya, cukup memperlihatkan jenjang kakinya yang pualam. Dia mengeluarkan handphone dari tasnya dan segera dimatikan. Setelah meletakkan tas di samping badannya, dia berpaling kepadaku dan tersenyum. Tangan kanannya diulurkan kepadaku.

"Perkenalkan, saya Vivi. Tidak pake ef tapi dengan vi." Tangan kirinya diangkat setinggi dagu, dan dua jari tangan kirinya membentuk huruf V. Manis benar caranya berkenalan.

"Kenapa, kaget ya? Jarang ketemu orang cantik seperti saya?" Aku baru tersadar jika sejak tadi aku hanya terbengong memperhatikannya.

"Ah, betul. Kamu cantik sekali. Mirip seperti istriku." Dengan cepat kujawab jujur. Dia hanya tertawa manja.

***

 "Ayah, apakah ibu pernah berselingkuh?" Aku dan ayah mertuaku tersentak dengan pertanyaanya.

"Apa maksudmu Nak?"

"Apakah ibu pernah menghianati Ayah?" Istriku mengulang pertanyaan kepada Ayah Mertua dengan nada yang hampir sama. Datar.

"Ada apa sebenarnya Nak? Apa yang telah terjadi?" Bapak mertuaku melihat kearahku. Aku mencoba bersikap dengan biasa. Aku seperti tidak sedang mendengarkan pertanyaannya.

"Mengapa Ayah tidak menjawab?"

"Tidak Anakku. Sepanjang hidup ayahmu ini. Ibumu adalah wanita paling setia yang ayah kenal."

"Apakah, Ayah pernah selingkuh?" Dia kembali bertanya. Aku semakin gusar. Tapi aku tetap mencoba tenang.

"Hmm. Tidak Anakku. Kesetiaan adalah harga mati dalam pernikahan kami." Kuperhatikan wajah istriku yang hampir tanpa ekspresi. Ia seperti orang asing saja. Baru ku sadari, wajahnya pucat dan tatapannya kosong. Ah aku salah mengiyakan ajakannya untuk berkunjung ke sini. Secara tidak langsung, dia seperti telah menempatkankku sebagai tertuduh.

"Jika ternyata ibu selingkuh, apakah Ayah akan memaafkannya?" Masih dengan nada yang datar, dia kembali bertanya. Ayah mertuaku semakin sering menatapku tak mengerti. Ada sorot mata menuduh dan curiga dalam dua matanya.

Aku sendiri bingung dengan sikap istriku itu. Pada awalnya aku kira dia akan menuduhku dengan meminjam kuasa ayahnya. Tapi pertanyaanya yang terakhir menggiringku pada ketidakmengertian.

Aku berdiri dari dudukku. Ku dekati istriku. Wajah ayunya, sangat mirip dengan ibunya. Tapi sayang, saat ini ia tampak sangat suram. Ku dekap pundaknya saat aku duduk di sampingnya.

"Anakku, ceritakanlah apa yang telah terjadi padamu." Suara Ayah mertua terasa berat. Sejenak tidak ada jawaban dari mulut istriku. Namun, kulihat segera matanya basah. Satu-satu bulir bening air matanya menetes. Tubuhnya terguncang. Ia menangis tergugu. Ia berpaling kepadaku dan mendekapku dalam tangisnya.

Aku dan Ayah mertuaku membiarkan dia menangis. Mungkin dengan begitu, sebagian beban yang ia tanggung bisa terkurangi. Sementara kutatap ayah mertuaku yang bingung, kemudian kulayangkan pandanganku ke luar jendela. Ada beribu Tanya, ada beribu sangka dan kekhawatiran yang menyumbat kepalaku, dan kulihat juga dari kedua mata ayah mertuaku.

"Anakku, apa maksudmu sebebarnya?" Ayah mertua segera ingin tahu, sesaat ketika isakannya berakhir.

***

Suasana ruangan itu sangat hening. Seperti tidak ada kehidupan di antara tiga makhluk yang tengah beradu pandang. Kisah yang dipaparkan istriku, mengungkap semua masalah yang terpendam. Ayah mertua tidak kuasa memandang kami berdua. Dia berbalik. Tatapannya nanar ke arah poto gambar istrinya di dinding. Ia diam, istriku juga tak bersuara, sementara aku tak berani berbuat apa-apa. Waktu seperti enggan bergerak. Kaku.

Aku tidak habis pikir. Semua terjadi begitu saja, mengalir seperti air kali yang mestinya memang menuju muara. Tidak ada perjuangan untuk bertahan dan melawan demi harga diri paling tidak. Istriku telah menjadi jaksa bagi dirinya sendiri. Perjalanan hitamnya seperti ikut mengeruhkan wajah ayah mertuaku. Aku hanya terdiam, tidak tahu harus membela siapa, karena istriku menuduh dirinya sendiri.

"Maafkan aku Nak Bowo." Lirih Ayah Mertuaku mengatakan itu kepadaku. Sementara aku tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Ayah, apakah Ayah tidak marah padaku?" Istriku bersuara kembali setelah lama menenggelamkan diri dalam sunyi.

"Bertanyalah kepada suamimu."

 "Tidak ayah. Aku tidak bersalah kepada suamiku. Aku bersalah kepadamu." Aku tersentak hebat mendengar kalimat istriku. Kekagetan juga kutangkap dari wajah ayah mertuaku.

"Apa Maksudmu?"

"Bukankah Ayah yang bilang, bahwa kesetiaan adalah harga mati dalam keluarga? Dan aku sudah tidak menemukan itu dalam keluarga ku. Baik karena diriku atau karena dirinya. Jadi tidak ada yang perlu aku bicarakan lagi dengannya." Kata-kata istriku membanjir sambil dengan sesekali menatap Ayah mertua dan menatap tajam kepadaku.

"Apakah ayah akan memaafkan Ibu jika dia selingkuh, atau sebaliknya, apakah Ibu akan memaafkan Ayah jika Ayah ternyata selingkuh? Bagaimana jika Ayah dan Ibu ternyata sama-sama selingkuh, siapa yang harus meminta maaf dan siapa yang berhak memaafkan?" Aku hanya terdiam. Akhirnya istriku mengatakan itu juga. Aku tidak bisa lagi mencegahnya. Kulihat Ayah mertua terduduk diam. Dia semakin tampak kebingungan.

***

Sebenarnya, aku sudah menolak ajakannya setelah malam itu untuk datang ke rumah ayahnya. Karena masalah ini belum juga dapat di selesaikan. Namun dia beralasan hanya karena kangen saja. Akhirnya aku mengiayakan untuk menemaninya.

Ternyata yang aku khawatirkan terjadi. Istriku bukan melepaskan kangen, tapi justru menyalakan api dan membakar hangus semua tali-tali ikatan kami yang memang sudah mulai retak. Padahal kami baru saja merajutnya setahun yang lalu. Tepat sepuluh tahun kematian ibu istriku.

Harus kuakui waktu itu, aku terpaksa menikahinya. Ayah istriku dengan tegas mengatakan jika tidak mau menikah saat itu juga, maka dia akan dinikahkan dengan orang lain. Aku akhirnya mengalah untuk menikahinya. Meskipun aku sebenarnya sangat mencintainya, tapi pekerjaanku yang lebih banyak diluar, menyebabkan aku tidak tahan pada banyaknya godaan. Dunia gelap kekuasaan menelanku. Dan akhirnya dalam sejenak aku sudah menikmatinya.

Akhirnya malam yang tidak ku duga itu datang. Ketika seperti biasa aku meminta dikirim seorang teman malam. Ternyata yang datang adalah istriku sendiri. Pada awalnya aku tidak menyadari, karena aku sangat yakin dengan kesetiaannya. Namun, aku salah. Ternyata meskipun aku tidak percaya, tapi dia benar-benar istriku sendiri. Dan dia sebenarnya sudah tahu, bahwa akulah yang menunggu kedatangannya di kamar itu.

***

"Kalian telah membuat aku kecewa. Pulanglah." Tiba-tiba ayah mertua berdiri dan berkata dengan tegas.

"Ayah. Apakah Ayah tidak memaafkan aku?" Istriku kembali terisak.

"Pulang! Ini bukan rumahmu lagi. Aku bukan ayahmu lagi. Jangan pernah kalian datang lagi kemari. Anggap saja aku telah lama mati!" Aku dan istriku masih duduk tertunduk tidak berani menatap mata beliau. Beliau kembali duduk membelakangi kami, menghadap gambar wajah istrinya ketika masih muda dahulu. Terdengar lirih, ayah mertuaku menangis, meskipun terisak, namun jelas punggunggnya yang mulai bungkuk, naik turun menahan emosi.

Akhirnya, istriku kuajak untuk keluar. Dia masih menangis. Kami berjalan keluar, menuju mobil yang siap segera melaju kencang meninggalkan pagi yang sangat gerah ini. Sebelum mobil berjalan, istriku masih sempat membuka jendela dan menatap lekat pitu pagar rumah kedua orang tuanya. Seolah tergambar jelas punggung ayah dan ibunya yang tengah tersedu menahan tumpahan kesedihan dan kekecewaan dalam air mata.

Mobil pun berjalan. Meninggalkan beribu kenangan, menjemput persolan yang belum juga usai. Aku masih mencintai istriku, entah istriku, masihkah ia mencintaiku? Aku belum sempat menanyainya.

Jogja, 23-Juli-2008

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun