Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak dan Menantu

27 Desember 2020   05:24 Diperbarui: 27 Desember 2020   05:36 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Anakku, apa maksudmu sebebarnya?" Ayah mertua segera ingin tahu, sesaat ketika isakannya berakhir.

***

Suasana ruangan itu sangat hening. Seperti tidak ada kehidupan di antara tiga makhluk yang tengah beradu pandang. Kisah yang dipaparkan istriku, mengungkap semua masalah yang terpendam. Ayah mertua tidak kuasa memandang kami berdua. Dia berbalik. Tatapannya nanar ke arah poto gambar istrinya di dinding. Ia diam, istriku juga tak bersuara, sementara aku tak berani berbuat apa-apa. Waktu seperti enggan bergerak. Kaku.

Aku tidak habis pikir. Semua terjadi begitu saja, mengalir seperti air kali yang mestinya memang menuju muara. Tidak ada perjuangan untuk bertahan dan melawan demi harga diri paling tidak. Istriku telah menjadi jaksa bagi dirinya sendiri. Perjalanan hitamnya seperti ikut mengeruhkan wajah ayah mertuaku. Aku hanya terdiam, tidak tahu harus membela siapa, karena istriku menuduh dirinya sendiri.

"Maafkan aku Nak Bowo." Lirih Ayah Mertuaku mengatakan itu kepadaku. Sementara aku tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Ayah, apakah Ayah tidak marah padaku?" Istriku bersuara kembali setelah lama menenggelamkan diri dalam sunyi.

"Bertanyalah kepada suamimu."

 "Tidak ayah. Aku tidak bersalah kepada suamiku. Aku bersalah kepadamu." Aku tersentak hebat mendengar kalimat istriku. Kekagetan juga kutangkap dari wajah ayah mertuaku.

"Apa Maksudmu?"

"Bukankah Ayah yang bilang, bahwa kesetiaan adalah harga mati dalam keluarga? Dan aku sudah tidak menemukan itu dalam keluarga ku. Baik karena diriku atau karena dirinya. Jadi tidak ada yang perlu aku bicarakan lagi dengannya." Kata-kata istriku membanjir sambil dengan sesekali menatap Ayah mertua dan menatap tajam kepadaku.

"Apakah ayah akan memaafkan Ibu jika dia selingkuh, atau sebaliknya, apakah Ibu akan memaafkan Ayah jika Ayah ternyata selingkuh? Bagaimana jika Ayah dan Ibu ternyata sama-sama selingkuh, siapa yang harus meminta maaf dan siapa yang berhak memaafkan?" Aku hanya terdiam. Akhirnya istriku mengatakan itu juga. Aku tidak bisa lagi mencegahnya. Kulihat Ayah mertua terduduk diam. Dia semakin tampak kebingungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun