Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cita-cita Ayah

12 Agustus 2020   05:32 Diperbarui: 12 Agustus 2020   05:41 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ayahku yang terhormat.

Mas Alip telah menyadarkanku. Bakti kepada orang tua adalah kewajiban seorang anak. Selama ini, Romli tahu belum bisa memberikan apa-apa kecuali rasa hormat Romli kepada ayah. Kecuali sikap patuh Romli kepada ayah. Romli sadar, inilah saatnya kami, Romli dan mas Alip berkorban, sebagai wujud bakti kami kepada mu ayah. Kami tahu, tidak mungkin bisa membantu mewujudkan keinginan ayah dalam ujud materi. Karena kami-pun masih berusaha bertahan hidup dengannya. Hanya langkah kami kemudian memutuskan, untuk tidak akan lagi meminta bantuan apapun kepada ayah, sampai cita-cita ayah tercapai.

Biarlah kami akan berusaha bertahan hidup dengan kemandirian yang telah ayah ajarkan kepada kami. Kami akan berusaha tetap hidup sampai keinginan ayah terwujud. Kami sekali lagi mohon maaf, karena tidak memiliki apa-apa untuk membantu mewujudkan keinginan ayah. Hanya doa sajalah yang dapat kami panjatkan tulus kepada Allah SWT, semoga tahun depan cita-cita ayah dapat terwujud. Dan semoga dapat menjadi haji yang mabrur. Amin.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

Tertanda, Putra ayah yang selalu menghormatimu.

Romli

***

Selesai membaca surat itu. Pak Rahman termenung beberapa saat. Sekilas terbayang wajah kedua anaknya itu. Alip, anak pertamanya yang hanya pulang setahun sekali saat lebaran idul fitri. Dia memang tidak pernah mengeluh. Bahkan dulu waktu masih sekolah, meskipun sepatunya sudah rusak, Alip tidak pernah meminta ganti. Akhirnya ibunyalah yang membelikan. Pernah suatu kali dia pulang, dan mengatakan perlu modal untuk membuka usaha sampingan di rumah kontrakannya. Gaji dari pabrik sebagai karyawan, katanya tidak cukup untuk hidup berkeluarga. Namun saat itu permintaanya tidak ia turuti.

"Kamu kan belum berkeluarga. Lagi pula perhitungannya harus masak-masak betul. Jangan sampai modal besar hanya hilang karena usahamu merugi. Saat inipun, ayah sedang merencanakan naik haji bersama ibumu tahun depan. Rasanya, kalau belum haji, perasaan hati ini belum tenang. Nantilah setelah kewajiban terakhir ini sudah terpenuhi, kamu mau bisnis apapun ayah dukung." Pak Rahman ingat betul saat itu. Alip waktu itu tidak membantah. Pak Rahman tidak pernah bertanya kapan Alip merencanakan menikah, dan tampaknya Alip pun enggan untuk mengatakannya. Ia hanya diam dan sorenya langsung berpamitan kembali ke Jakarta.

Selama ini, Pak Rahman memang belum pernah berkunjung ke rumah kontrakan Alip yang baru setelah satu setangah tahun pindah. Yang dia tahu, kontrakannya sekarang lebih bagus dari yang dulu. Itupun dari cerita Alip waktu pulang idul fitri kemarin.

Sedangkan Romli, sudah satu tahun ini lulus SMK. Dia pernah diajak temannya bekerja ke Jepang. Tetapi harus menggunakan uang pangkal 15 Juta. Sebuah nominal yang cukup besar, maka Pak Rahman tidak mengijinkannya. Lebih baik mencari rizki yang dekat-dekat saja. " Dimanapun kamu mencari rizqi, Tuhan telah menakarnya. Yang diperlukan hanya berusaha. Jadi tidak perlu khawatir". Ingatan Pak Rahman kembali pada tulisan Romli yang mencatat lengkap kata-katanya waktu itu. Padahal alasan sebenarnya adalah karena Pak Rahman sedang mengumpulkan uang untuk keberangkatan dia dan istrinya ke tanah suci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun