Mohon tunggu...
Syarif Nurhidayat
Syarif Nurhidayat Mohon Tunggu... Dosen - Manusia yang selalu terbangun ketika tidak tidur

Manusia hidup harus dengan kemanusiaannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Matematika Demokrasi

25 April 2020   14:36 Diperbarui: 25 April 2020   14:42 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berbincang mengenai "politik uang" dalam praktek demokrasi kita tidak bisa dilepaskan dari matematika. Matematika merupakan mata pelajaran wajib di semua jenjang sekolah yang paling dijauhi, namun, ternyata dalam praktek hidup, matematika justru menjadi ilmu yang paling laku.

Bagaimana tidak, orang tidak bisa berdagang jika tidak bisa menghitung uang, orang tidak bisa membangun rumah jika alpa perhitungan, orang tidak bisa berlari mengejar bis, jika tidak bisa memahami percepatan. Sampai pada orang untuk bisa menjadi pemimpin, wajib baginya memiliki kemampuan matematika. Matematika adalah ilmu yang paling dasar dalam membangun logika, dan merupakan "dosa" para guru pengajarnya sehingga kita sebagian besar malah justru membencinya.

Apa hubungan matematika dengan demokrasi dan pemilu atau pemilukada?

Jika dirunut, maka kita akan menemukan lingkaran bulat untuk kerapuhan demokrasi kita.

Dari awal proses demokrasi, pembangunan, penguatan dan kaderisasi parpol, sampai manajemen kampanye dan politik uang. Ketika sudah masuk di dunia politik, dari menyalahgunakan kewenangan sampai menggarong dan merampok Negara. Hasil dari garongan dan rampokan dijadikan modal usaha dan sebagian untuk kembali membeli suara baik di masyarakat maupun dalam partai politik. Ini sekedar asumsi dari rangkaian peristiwa bejad korupsi politik selama ini.

Lalu, mengapa mereka begitu gagah dan angkuh dengan perilaku korupsinya? Karena mereka pandai matematika. Mereka adalah ahli berhitung. Bukan saja pandai menambah dan mengalikan angka, namun juga dengan bermacam variabelnya. Berapa jumlah pelaku korupsi, berapa persen kemungkin tertangkap, berapa persen kemungkin diproses, berapa persen kemungkinan dipidana, berapa persen kemungkinan dipinda berat, berapa persen bisa melepaskan dari semua proses hukum tersebut.

Banyak yang memilih untuk pada akhirnya korupsi karena merasa tidak ada ruginya. Tidak apa-apa dipenjara tujuh tahun, karena sudah punya simpanan ratusan milyar. Begitu keluar penjara masih bisa hidup sejahtera juga. Dari sudut matematis, jelas harga penjara tujuh tahun, jika dikonversi dalam kalimat "karir", belum tentu akan menghasilkan sepuluh milyar. Logis.

Matematika seringkali dituduh tidak memiliki hubungan dengan moralitas. Sehingga sangat wajar ketika orang pandai matematika tidak selalu adalah orang yang baik. Antara matematika dan moralitas tidak memiliki korelasi yang jelas (atau bahkan tidak ada sama sekali).

Demokrasi adalah semangat. Demokrasi itu nilai. Namun dibangun dari angka.

Dari sinilah mungkin, salah satu sebabnya mengapa demokrasi kita tidak kunjung dewasa. Karena dia masih saja berkutat pada angka terbesar, bukan kebutuhan dan nilai terbesar. Asalkan jumlahnya besar, maka benarlah ia. Asalkan nominalnya besar, loloslah perijinannya. Asalkan tebal sisipannya, bereslah auditnya. Ketika semua dibangun dengan angka yang terbesar, dengan mengabaikan variable di belakangnya, demokrasi itu masih kanak-kanak. Ia dipertahankan ansich sebagaimana dia dilahirkan dengan semangat menolak nilai utama yang baru di belakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun