Namun di tengah gelombang tekanan, Tiara menjadi garda depan. Ia mengumpulkan data, membentuk tim komunikasi, dan menggiring opini publik kembali ke arah positif. Energinya yang tak kenal lelah menular.
Tiara: "Bima, kamu dibentuk dari kepercayaan. Kalau kamu jatuh karena fitnah, kamu tinggal diangkat sama orang-orang yang tahu siapa kamu sebenarnya. Termasuk aku."
Di sisi lain, Dira menjadi jangkar di tengah badai. Ia menjadi telinga yang setia mendengar, pelabuhan yang memberi ketenangan.
Dira: "Mereka boleh meragukanmu. Tapi kamu harus ingat siapa kamu saat semua orang melupakanmu. Aku percaya kamu, bahkan ketika kamu nggak percaya diri sendiri."
Dengan ketenangan dan kedewasaan, Bima menghadapi forum klarifikasi. Ia menjawab tuduhan dengan data, menjelaskan dengan hati. Di akhir forum, dukungan mengalir deras. Statusnya sebagai Ketua BEM dipertahankan. Bahkan ia mendapat simpati lebih besar.
Namun badai itu menyisakan luka. Bima kini lebih diam. Lebih berhati-hati.
Di balik sorot matanya yang teduh, hatinya semakin gelisah. Tiara atau Dira?
Tiara: "Kamu tahu, Bim... aku bukan cewek yang suka nunggu. Tapi untuk kamu, aku... belajar nunggu."
Dira: "Kamu nggak harus pilih yang paling membuatmu bahagia. Tapi pilihlah yang membuatmu tetap jadi dirimu yang utuh."
Dan di satu malam yang tenang, Bima berdiri sendiri di balkon asrama kampus. Menatap langit Jakarta yang temaram.
Ia mencintai dua perempuan dalam cara yang berbeda.