Di titik ini, Bima mulai menyadari dilema yang merayap dalam hatinya. Tiara membuatnya hidup. Dira membuatnya tenang. Tiara adalah percikan. Dira adalah pelabuhan.
Sementara itu, dua sosok masa lalu kembali mengusik: Arka Pradipta dan Reza Ilham. Mantan idola dan manipulator kampus itu perlahan kehilangan pengaruhnya. Lebih menyakitkan lagi, mantan-mantan mereka kini sering berada di lingkaran Bima.
Saskia, mantan Arka, kini secara terbuka menunjukkan ketertarikannya pada Bima. Sedangkan Kirana, mantan Reza yang kini aktif di lembaga sosial mahasiswa, mulai banyak berdiskusi dengan Bima soal program-program advokasi.
Suatu hari, Arka melabrak Bima di parkiran kampus.
Arka: "Lo pikir semua ini kebetulan? Sekarang Saskia deket sama lo? Lo mau nyikat semua yang pernah ada di hidup gue?"
Bima: (tenang) "Gue nggak pernah rebut siapa pun. Kalau mereka datang ke gue, mungkin karena lo nggak cukup buat mereka tinggal."
Tamparan itu bukan di wajah, tapi di harga diri Arka.
Sementara Reza memancing isu lewat akun anonim yang menyebarkan gosip soal kedekatan Bima dengan banyak perempuan. Fitnah itu berkembang menjadi isu etika, menyeret nama Bima dan mempertanyakan integritasnya sebagai Ketua BEM. Tekanan dari berbagai pihak membuat posisi Bima terguncang.
Mahasiswa: "Dia nggak layak jadi Ketua BEM kalau hidup pribadinya kayak gitu."
Dosen pembina: "Bima, kamu harus bisa membuktikan dirimu. Ini bukan sekadar reputasi pribadi, ini soal kepercayaan publik."
Bima mulai goyah. Frustrasi menggerogoti ketenangannya. Untuk pertama kalinya, ia merasa ingin menyerah.