Suatu siang di Sikka, Nusa Tenggara Timur, saya duduk bersila bersama Ibu Maria, seorang penenun berusia 62 tahun. Tangannya bergerak lambat namun pasti, menyusun benang demi benang menjadi motif warisan leluhurnya---"kaif" yang konon berasal dari abad ke-18. Ia tersenyum sambil berkata, "Setiap simpul ini punya cerita, Pak. Ini bukan hanya kain. Ini hidup kami."
Dua bulan kemudian, saya melihat motif yang sangat mirip terpampang di sebuah platform desain internasional. Tapi bukan hasil kerja Ibu Maria---melainkan produk AI generatif yang memindai ribuan gambar tenun di internet dan menciptakan desain etnik "baru" dalam hitungan detik.
Apa yang sedang terjadi? Apakah ini kemajuan? Atau justru perampasan dalam balutan teknologi?
Fenomena yang Bergerak Terlalu Cepat
Kita sedang hidup dalam era di mana Artificial Intelligence (AI) bukan sekadar alat bantu, tapi sudah menjadi "pencipta alternatif". Dalam industri kreatif, AI kini merambah ke ranah yang dulu dianggap eksklusif bagi manusia: seni, desain, bahkan budaya. Dari New York hingga Yogyakarta, dari batik hingga lagu pop---semua bisa "diproduksi ulang" oleh algoritma.
Dalam konteks tenun tradisional Nusantara, ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, teknologi ini bisa mempercepat inovasi desain, memperluas pasar, dan menghemat biaya produksi. Tapi di sisi lain, ada kisah manusia yang tersingkir---perlahan, senyap, dan tak disadari.
Bukan Sekadar Produk: Tenun Adalah Identitas
Sebagai ekonom industri, saya belajar menganalisis grafik dan tren. Tapi sebagai manusia, saya tak bisa mengabaikan dimensi yang tak kasat mata. Tenun bukan komoditas biasa. Ia adalah narasi tentang tanah, leluhur, air, dan waktu.
Setiap helai tenun adalah hasil kerja kolektif: dari pemintal benang, pencari pewarna alami, hingga para penenun yang tak pernah sekolah desain tapi mewarisi estetika dari ibunya, neneknya, dan nenek dari neneknya. Lalu, datanglah AI dengan kemampuannya memindai, meniru, dan menciptakan "motif baru" dari apa yang telah ada. Tanpa izin. Tanpa rasa. Tanpa sejarah.
Teori Disrupsi dan Kenyataan di Lapangan
Dalam teori ekonomi industri, ini disebut sebagai creative destruction---ketika teknologi baru menggantikan cara lama dan menciptakan pasar baru. Joseph Schumpeter menyebutnya sebagai proses alami dalam kapitalisme. Tapi, apa yang terjadi ketika "kreativitas" itu lahir dari algoritma, dan "kehancuran" itu menimpa perempuan-perempuan tua di desa yang hidupnya bergantung pada tenun?