Ini bukan sekadar disrupsi. Ini potensi ketimpangan digital---di mana yang menguasai teknologi akan mendominasi narasi, pasar, dan keuntungan.
Solusi: Bukan Menolak Teknologi, Tapi Memanusiakannya
Saya tidak mengatakan bahwa kita harus menolak AI. Teknologi bukan musuh. Tapi ia harus dikenali, diarahkan, dan diatur. Kita bisa:
- Mendaftarkan motif tenun sebagai Kekayaan Intelektual Komunal, bukan sekadar desain bebas pakai.
- Membuat platform berbasis etika di mana AI hanya boleh belajar dari data yang diizinkan komunitas lokal.
- Memberdayakan penenun lokal melalui pelatihan digital, agar mereka bisa menjadi subjek, bukan objek, dari transformasi teknologi.
AI bisa membantu memperluas pasar tenun hingga ke Eropa dan Jepang---asal dilakukan secara kolaboratif dan adil. Jangan biarkan teknologi jadi alat eksklusi. Ia harus menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Argumentasi Moral dan Ekonomi
Bayangkan jika kita membiarkan AI menyerap seluruh estetika budaya lokal, lalu menjualnya kembali ke kita dalam bentuk "produk global". Kita akan membeli kembali versi instan dari jati diri kita sendiri---tanpa sadar bahwa yang kita dukung adalah pemutusan rantai tradisi.
Ini bukan hanya soal pendapatan seniman lokal. Ini soal martabat budaya. Jika ekonomi kreatif ingin tumbuh berkelanjutan, ia harus berakar pada keadilan, bukan sekadar efisiensi.
Seruan: Jangan Biarkan AI Jadi Mesin Pelupa
Saya menulis ini bukan sebagai penolak kemajuan, tapi sebagai saksi dari nilai yang kian terpinggirkan. Jika kita tidak hati-hati, AI akan menjadi mesin pelupa---yang menyapu bersih jejak manusia dalam karya seni dan budaya.
Mari arahkan teknologi untuk memperkuat, bukan menghapus, kearifan lokal. Karena pada akhirnya, kemajuan sejati bukanlah ketika mesin menggantikan manusia, tapi ketika manusia mampu mengendalikan mesin demi nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan.
"Kalau semua bisa dibuat mesin, lalu apa gunanya kita belajar mencintai proses?"
--- Ibu Maria, penenun Sikka