Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Seni

Desain Kontemporer pada Tenun ; Merusak atau Mengangkat?

14 September 2025   07:44 Diperbarui: 14 September 2025   07:44 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah butik Jakarta Selatan, saya pernah melihat clutch bag bermotif songket Pandai Sikek dijual seharga hampir dua juta rupiah. Bukan tenun asli---cuma print digital di atas bahan sintetis. Tak ada nama penenun, tak ada informasi tentang motif. Hanya satu kalimat di label: "Inspired by Minangkabau heritage."

Saya langsung berpikir: apakah ini apresiasi budaya, atau sekadar estetika yang dipetik seenaknya?

Warisan Budaya di Tengah Euforia Desain

Kita sedang hidup di masa ketika segala hal yang berbau lokal jadi tren. Desain berbasis budaya---termasuk tekstil tradisional seperti songket---mulai tampil dalam busana, arsitektur, produk rumah tangga, bahkan branding startup. Kata-kata seperti "otentik," "heritage," dan "nusantara" mudah ditemukan di katalog produk, dari tas hingga taplak meja.

Tapi ketika motif-motif sakral dari nagari tua seperti Pandai Sikek berubah jadi pola di sepatu sneakers, kita patut bertanya:
Apakah ini sekadar tren kosmetik, atau kita benar-benar sedang mengalami transformasi industri kreatif?

Perspektif Industri: Siapa Dapat Apa?

Sebagai ekonom industri, saya terbiasa melihat rantai nilai. Dalam kasus songket Pandai Sikek, rantainya dimulai dari penenun---perempuan-perempuan yang duduk berjam-jam di alat tenun, menautkan benang demi benang, dengan mata yang tajam dan tangan yang sabar.

Masalahnya, begitu masuk ke dunia desain modern, posisi penenun cepat sekali terpinggirkan. Motif mereka diambil, dipakai di produk baru, dijual mahal---sementara penenunnya tetap hidup pas-pasan.

Dari sisi ekonomi industri, ini adalah pola lama yang terulang lagi: pihak di hulu (komunitas adat) hanya jadi penyedia bahan mentah---bukan pemilik merek, bukan pemilik cerita, apalagi pengambil untung.

Antara Gimmick dan Gerakan

Desain kontemporer berbasis tradisi bisa sangat menjanjikan---tapi juga bisa sangat bermasalah. Bedanya tipis. Ia bisa jadi:

  • Gimmick visual, jika hanya menempel motif tanpa paham maknanya.
  • Atau gerakan transformasi, jika melibatkan pengrajin sebagai mitra dan pemilik narasi.

Sayangnya, banyak yang hanya berhenti di level pertama: motif songket dipakai untuk "branding," tapi tidak satu rupiah pun mengalir kembali ke Pandai Sikek.

Transformasi yang sejati mestinya menyentuh tiga hal:

  1. Desain yang lahir dari dialog, bukan ambil motif lalu modifikasi sepihak.
  2. Model bisnis yang adil---bukan hanya soal royalti, tapi juga pembagian kendali dan panggung.
  3. Kesadaran pasar, bahwa membeli produk warisan bukan sekadar gaya hidup, tapi juga bagian dari tanggung jawab kultural.

Kalau kita tarik ke teori industri kreatif, songket Pandai Sikek adalah produk berbasis identitas komunal. Artinya, nilai jualnya justru datang dari konteks budaya, bukan semata bentuk fisik.

Dalam ekonomi industri, ini masuk kategori intangible asset---aset tak berwujud seperti reputasi, narasi, dan makna simbolik. Sayangnya, aset ini sering kali tak dilindungi secara memadai. Motif bisa diklaim siapa saja. Cerita bisa dipelintir semaunya. Dan tanpa perlindungan hukum serta struktur pasar yang berpihak, komunitas asli hanya jadi penonton.

Haruskah Kita Tutup Pintu?

Beberapa orang di Pandai Sikek resah. Mereka takut jika terlalu banyak orang luar yang "belajar" songket, maka nilai sakral dan teknik khasnya akan hilang. Kekhawatiran ini valid---karena sudah banyak kasus budaya lokal "diambil", diubah, lalu dikomersialisasi oleh pihak yang bahkan tak pernah menginjak tanah asalnya.

Tapi menutup pintu sepenuhnya juga bukan solusi. Tradisi yang dikunci justru bisa mati perlahan. Yang kita butuhkan adalah model keterbukaan yang cerdas---di mana komunitas lokal tetap memegang kendali, tapi juga bersedia berbagi dalam batas yang mereka tetapkan.

Agar desain kontemporer bisa menjadi transformasi---bukan hanya tren musiman---kita perlu pendekatan baru:

  1. Kolaborasi Setara
    Libatkan penenun sejak awal proses desain, bukan sekadar jadi pemasok kain. Berikan ruang bicara dan hak suara. Jangan anggap motif hanya ornamen, karena di balik setiap pola, ada sejarah dan filosofi.
  2. Lisensi Budaya
    Buat sistem lisensi berbasis komunitas. Mirip geographical indication pada kopi atau keju. Siapa pun boleh pakai motif songket Pandai Sikek, tapi harus mengikuti kode etik dan mengakui sumbernya.
  3. Marketplace Berbasis Narasi
    Bangun platform digital yang tidak hanya menjual produk, tapi juga menceritakan siapa pembuatnya, dari mana motifnya, dan apa maknanya. Konsumen urban sekarang tak hanya beli barang---mereka beli cerita.
  4. Pendidikan Desain yang Berakar
    Sekolah desain perlu menanamkan literasi budaya. Ajarkan bahwa desain bukan cuma soal tren visual, tapi juga soal tanggung jawab sosial.

Memakai Warisan, Menjaga Makna

Desain berbasis tradisi bisa jadi kekuatan besar dalam membangun ekonomi kreatif lokal. Tapi kekuatan itu hanya bermakna jika tidak melupakan akar budaya dan pelakunya.

Songket Pandai Sikek bukan hanya kain cantik. Ia adalah hasil dari kerja panjang lintas generasi, yang mengikat nilai, identitas, dan keterampilan hidup. Kalau kita bisa menjadikannya bagian dari industri kreatif yang adil dan berkelanjutan, maka ini bukan sekadar tren.

Ini adalah transformasi---dan mungkin, kebangkitan baru warisan kita.

Ayo desainer dan kreator muda, ambil bagian ini. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun