Mohon tunggu...
Syaiful Anwar
Syaiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen FEB Universitas Andalas Kampus Payakumbuh

Cara asik belajar ilmu ekonomi www.unand.ac.id - www.eb.unand.ac.id https://bio.link/institutquran

Selanjutnya

Tutup

Seni

Desain Kontemporer pada Tenun ; Merusak atau Mengangkat?

14 September 2025   07:44 Diperbarui: 14 September 2025   07:44 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sayangnya, banyak yang hanya berhenti di level pertama: motif songket dipakai untuk "branding," tapi tidak satu rupiah pun mengalir kembali ke Pandai Sikek.

Transformasi yang sejati mestinya menyentuh tiga hal:

  1. Desain yang lahir dari dialog, bukan ambil motif lalu modifikasi sepihak.
  2. Model bisnis yang adil---bukan hanya soal royalti, tapi juga pembagian kendali dan panggung.
  3. Kesadaran pasar, bahwa membeli produk warisan bukan sekadar gaya hidup, tapi juga bagian dari tanggung jawab kultural.

Kalau kita tarik ke teori industri kreatif, songket Pandai Sikek adalah produk berbasis identitas komunal. Artinya, nilai jualnya justru datang dari konteks budaya, bukan semata bentuk fisik.

Dalam ekonomi industri, ini masuk kategori intangible asset---aset tak berwujud seperti reputasi, narasi, dan makna simbolik. Sayangnya, aset ini sering kali tak dilindungi secara memadai. Motif bisa diklaim siapa saja. Cerita bisa dipelintir semaunya. Dan tanpa perlindungan hukum serta struktur pasar yang berpihak, komunitas asli hanya jadi penonton.

Haruskah Kita Tutup Pintu?

Beberapa orang di Pandai Sikek resah. Mereka takut jika terlalu banyak orang luar yang "belajar" songket, maka nilai sakral dan teknik khasnya akan hilang. Kekhawatiran ini valid---karena sudah banyak kasus budaya lokal "diambil", diubah, lalu dikomersialisasi oleh pihak yang bahkan tak pernah menginjak tanah asalnya.

Tapi menutup pintu sepenuhnya juga bukan solusi. Tradisi yang dikunci justru bisa mati perlahan. Yang kita butuhkan adalah model keterbukaan yang cerdas---di mana komunitas lokal tetap memegang kendali, tapi juga bersedia berbagi dalam batas yang mereka tetapkan.

Agar desain kontemporer bisa menjadi transformasi---bukan hanya tren musiman---kita perlu pendekatan baru:

  1. Kolaborasi Setara
    Libatkan penenun sejak awal proses desain, bukan sekadar jadi pemasok kain. Berikan ruang bicara dan hak suara. Jangan anggap motif hanya ornamen, karena di balik setiap pola, ada sejarah dan filosofi.
  2. Lisensi Budaya
    Buat sistem lisensi berbasis komunitas. Mirip geographical indication pada kopi atau keju. Siapa pun boleh pakai motif songket Pandai Sikek, tapi harus mengikuti kode etik dan mengakui sumbernya.
  3. Marketplace Berbasis Narasi
    Bangun platform digital yang tidak hanya menjual produk, tapi juga menceritakan siapa pembuatnya, dari mana motifnya, dan apa maknanya. Konsumen urban sekarang tak hanya beli barang---mereka beli cerita.
  4. Pendidikan Desain yang Berakar
    Sekolah desain perlu menanamkan literasi budaya. Ajarkan bahwa desain bukan cuma soal tren visual, tapi juga soal tanggung jawab sosial.

Memakai Warisan, Menjaga Makna

Desain berbasis tradisi bisa jadi kekuatan besar dalam membangun ekonomi kreatif lokal. Tapi kekuatan itu hanya bermakna jika tidak melupakan akar budaya dan pelakunya.

Songket Pandai Sikek bukan hanya kain cantik. Ia adalah hasil dari kerja panjang lintas generasi, yang mengikat nilai, identitas, dan keterampilan hidup. Kalau kita bisa menjadikannya bagian dari industri kreatif yang adil dan berkelanjutan, maka ini bukan sekadar tren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun