Lima Mei pagi, kopi masih pahit,
koran datang dengan berita yang manis---
bukan karena isinya,
tapi karena disaring sebelum disajikan.
Di layar kaca, para pembicara
bicara panjang lebar tentang kebebasan,
dengan naskah yang telah direvisi
tiga kali oleh editor---bukan bahasa,
tapi keberpihakan.
Anak-anak belajar sejarah
tentang pahlawan yang menang dengan tinta,
tapi tak pernah diajari cara bertanya:
mengapa tinta hari ini takut pada suara?
Katanya ini hari merdeka untuk bicara,
tapi mikrofon dijaga,
kamera disensor,
dan komentar diblokir bila terlalu jujur.
Lima Mei---hari ketika kebebasan
dirayakan dengan spanduk berslogan lembut,
sementara di belakang panggung
seorang wartawan menghapus tulisannya sendiri.
Ah, negeri ini pandai bersolek.
Ia tahu bagaimana tersenyum di depan tamu,
tapi membungkam suara
yang berani berkata, "Cerminmu retak, Tuan!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI