Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia teringat pesan Ustadz Ali tadi siang tentang istiqamah dalam ibadah. "Kita tidak pernah tahu amalan mana yang diterima Allah. Jangan remehkan satu malam pun di bulan Ramadhan," kata ustadz itu.
Maulana menghela napas. Ia tahu hatinya sedang diperdaya oleh kemalasan. Setelah beberapa menit bergelut dengan diri sendiri, ia akhirnya bangkit, mengambil wudhu, dan bersiap ke masjid.
---
Masjid malam itu lebih lengang dari biasanya. Mungkin karena bukan malam ganjil, banyak orang memilih istirahat di rumah. Maulana duduk di shaf ketiga, menunggu iqamah sambil membolak-balik mushaf kecilnya. Matanya terasa berat.
"Assalamu'alaikum, anak muda."
Suara lembut itu membuat Maulana menoleh. Seorang pria paruh baya dengan sorban putih duduk di sampingnya, senyumnya teduh.
"Wa'alaikumsalam, Pak," jawab Maulana sopan. "Saya tidak memperhatikan Bapak datang."
Pria itu tersenyum. "Saya Salim. Biasanya shalat di shaf pertama, tapi hari ini lutut saya agak sakit, jadi duduk di belakang dulu."
Maulana mengangguk. "Saya Maulana. Alhamdulillah, saya juga jamaah tetap di sini."
Pak Salim menatapnya sejenak. "Biasanya kamu terlihat lebih semangat. Malam ini kamu tampak berbeda."
Maulana terkejut. Ia tidak menyangka ada yang memperhatikan. "Jujur, Pak, tadi saya sempat ingin istirahat saja. Rasanya capek, dan saya berpikir untuk lebih serius di malam-malam ganjil nanti."