Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Episode 14: 30 Hari Ramadhan - Perjalanan Menemukan Diri

14 Maret 2025   08:34 Diperbarui: 14 Maret 2025   08:34 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen pribadi.  Sumber foto: Canva

Hari #14: Meja Berbuka yang Menyatukan

Alarm berbunyi tepat pukul 04.00 pagi, membangunkan Maulana dari tidur lelapnya. Dengan mata masih setengah terpejam, ia meraih ponselnya untuk mematikan alarm. Namun, sesuatu menarik perhatiannya---notifikasi pesan dari grup keluarga besar.

"Assalamu'alaikum semua. Mohon kehadirannya dalam acara buka puasa bersama hari ini di rumah Pakde Hasan pukul 17.00. Jazakumullah khairan."

Maulana menghela napas panjang. Acara keluarga. Biasanya ia akan bersemangat menghadiri pertemuan seperti ini, tetapi kali ini ada sesuatu yang membuatnya ragu. Nama pengirim pesan itu---Ridwan, sepupunya.

"Lima tahun sudah," gumamnya sambil beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Sudah lima tahun ia dan Ridwan tidak berbicara satu sama lain, tidak saling menyapa meski berada dalam ruangan yang sama. Semua bermula dari sebuah kesalahpahaman kecil tentang warisan kakek mereka yang kemudian membesar, bagai bola salju yang menggelinding tak terkendali. Kata-kata kasar yang terucap, prasangka yang menumpuk, dan ego yang tak mau mengalah membuat mereka terpisah begitu lama.

Setelah sahur dan shalat Subuh, Maulana duduk di ruang tengah, membuka Al-Qur'an untuk wiridnya di pagi hari. Namun, konsentrasinya terganggu. Pikirannya terus melayang pada undangan buka puasa bersama.

"Aku bisa saja mencari alasan untuk tidak hadir," pikirnya. "Toh selama ini kami juga baik-baik saja tanpa perlu bertemu."

Namun, bayangan pertemuannya dengan Pak Robert kemarin kembali menghampiri. Betapa ia telah salah dalam berprasangka terhadap tetangganya yang non-Muslim itu. Mungkinkah ia juga salah dalam mempertahankan amarahnya terhadap Ridwan?

---

Siang itu, Maulana sibuk dengan pekerjaannya di kantor, berusaha mengalihkan pikirannya dari undangan tersebut. Tapi setiap kali ponselnya berbunyi, ia refleks memeriksa, seolah berharap ada pesan pembatalan acara.

"Kamu kenapa, Mau? Dari tadi gelisah terus," tanya Farid, rekan kerjanya, saat mereka sedang istirahat.

Maulana mengangkat bahu. "Ada acara keluarga nanti. Buka puasa bersama."

"Bukannya itu bagus? Berkumpul dengan keluarga di bulan Ramadhan."

"Ya... kalau saja tidak ada dia."

"Dia?"

Maulana menghela napas, lalu menceritakan semuanya. Tentang Ridwan, tentang kesalahpahaman warisan, tentang kata-kata kasar yang terucap, dan tentang lima tahun tanpa komunikasi.

Farid mendengarkan dengan seksama, dan ketika Maulana selesai bercerita, ia hanya tersenyum.

"Kamu tahu, Mau," ujarnya, "Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu: 'Tidak halal bagi seorang muslim untuk mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka bertemu lalu yang ini berpaling dan yang itu berpaling. Dan yang terbaik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.'"

"Aku tahu hadits itu, tapi---"

"Tidak ada 'tapi', Mau...," potong Farid lembut. "Ini bulan Ramadhan. Bulan ampunan dan rahmat. Bukankah ini waktu yang tepat untuk memulai yang terbaik?"

Perkataan Farid menohok tepat di hati Maulana. Ia terdiam, merenungkan setiap kata yang Farid ucapkan.

---

Pukul 17.00, Maulana akhirnya memutuskan untuk hadir. Dengan langkah berat, ia memasuki halaman rumah Pakde Hasan. Suara tawa dan obrolan terdengar dari dalam rumah. Keluarga besar sudah berkumpul.

Jantungnya berdegup kencang. Bagaimana reaksi Ridwan melihatnya? Bagaimana ia harus bersikap jika mereka bertatap muka?

"Assalamu'alaikum," ucapnya pelan saat memasuki ruang tamu.

"Wa'alaikumsalam!" sambut Pakde Hasan bersemangat. "Akhirnya keponakan kesayanganku datang juga. Ayo masuk, Mau."

Semua mata tertuju padanya, termasuk sepasang mata yang selama lima tahun dihindarinya---mata Ridwan.

Maulana memilih duduk di sudut ruangan, berusaha menjaga jarak. Namun, tak lama kemudian, seseorang duduk di sebelahnya. Tanpa menoleh pun, dari aroma parfumnya, Maulana tahu itu Ridwan.

"Assalamu'alaikum, Mau," sapa Ridwan pelan.

Maulana terkejut. Sudah lama ia tidak mendengar sapaan itu dari sepupunya. Dengan ragu, ia menoleh. "Wa'alaikumsalam."

Hening sejenak. Kecanggungan meliputi keduanya.

"Aku... sebenarnya khusus mengundangmu hari ini," ujar Ridwan, memecah keheningan. "Aku minta maaf sudah membuatmu datang."

"Tidak apa-apa," jawab Maulana pendek, masih enggan berbicara banyak.

Ridwan menarik napas dalam-dalam. "Mau, aku ingin minta maaf. Untuk semuanya. Lima tahun, sepupuku. Lima tahun kita hidup seperti orang asing. Padahal dulu kita seperti saudara kandung."

Maulana terdiam, tidak menyangka Ridwan akan memulai percakapan ini.

"Kamu tahu, kemarin aku bermimpi tentang Kakek," lanjut Ridwan. "Dalam mimpi itu, Kakek bertanya padaku, 'Kapan kalian akan berbaikan?' Dan aku terbangun dengan perasaan bersalah yang teramat sangat."

Maulana merasakan tenggorokannya tercekat. Ia juga merindukan masa-masa bersama Ridwan dulu.

"Bulan Ramadhan adalah bulan yang Allah 'Azza wa Jalla muliakan," lanjut Ridwan. "Bukankah kita seharusnya memaafkan satu sama lain sebagaimana kita mengharapkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala?"

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Maulana. Semua amarah dan sakit hati yang dipendamnya selama lima tahun seolah lenyap dalam sekejap.

"Aku juga minta maaf, Rid," ucapnya akhirnya. "Aku terlalu keras kepala, terlalu memegang ego. Padahal, warisan Kakek bukan untuk memisahkan kita, tapi justru untuk mempererat tali silaturahmi kita."

Ridwan tersenyum, matanya juga berkaca-kaca. "Jadi... kita baikan?"

Maulana mengangguk, dan tanpa diduga, Ridwan memeluknya erat. "Alhamdulillah. Terima kasih, Lan."

Seluruh keluarga yang menyaksikan adegan itu tersenyum haru. Pakde Hasan terlihat paling bahagia, air mata mengalir di pipinya melihat kedua keponakannya berdamai.

"Alhamdulillah, akhirnya keluarga kita utuh kembali," ucap Pakde Hasan. "Inilah berkah Ramadhan, bulan yang Allah Subhanahu wa Ta'ala pilih untuk menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia."

Azan Maghrib berkumandang, mengakhiri puasa mereka hari itu. Maulana berbuka dengan kurma dan segelas air, lalu menunaikan shalat Maghrib berjama'ah dengan keluarganya---termasuk Ridwan di sampingnya.

Malam itu, setelah acara usai dan ia kembali ke rumahnya, Maulana merasakan kedamaian yang luar biasa. Beban lima tahun telah terangkat dari pundaknya.

"Ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu yang telah membukakan hatiku untuk memaafkan. Engkau telah mengingatkanku melalui Al-Qur'an dan Sunnah Nabi-Mu bahwa memaafkan adalah keutamaan," doanya sebelum tidur.

Dengan senyum di wajah, Maulana terlelap dalam tidur yang paling nyenyak sejak lima tahun terakhir.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun