"Tidak apa-apa," jawab Maulana pendek, masih enggan berbicara banyak.
Ridwan menarik napas dalam-dalam. "Mau, aku ingin minta maaf. Untuk semuanya. Lima tahun, sepupuku. Lima tahun kita hidup seperti orang asing. Padahal dulu kita seperti saudara kandung."
Maulana terdiam, tidak menyangka Ridwan akan memulai percakapan ini.
"Kamu tahu, kemarin aku bermimpi tentang Kakek," lanjut Ridwan. "Dalam mimpi itu, Kakek bertanya padaku, 'Kapan kalian akan berbaikan?' Dan aku terbangun dengan perasaan bersalah yang teramat sangat."
Maulana merasakan tenggorokannya tercekat. Ia juga merindukan masa-masa bersama Ridwan dulu.
"Bulan Ramadhan adalah bulan yang Allah 'Azza wa Jalla muliakan," lanjut Ridwan. "Bukankah kita seharusnya memaafkan satu sama lain sebagaimana kita mengharapkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala?"
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Maulana. Semua amarah dan sakit hati yang dipendamnya selama lima tahun seolah lenyap dalam sekejap.
"Aku juga minta maaf, Rid," ucapnya akhirnya. "Aku terlalu keras kepala, terlalu memegang ego. Padahal, warisan Kakek bukan untuk memisahkan kita, tapi justru untuk mempererat tali silaturahmi kita."
Ridwan tersenyum, matanya juga berkaca-kaca. "Jadi... kita baikan?"
Maulana mengangguk, dan tanpa diduga, Ridwan memeluknya erat. "Alhamdulillah. Terima kasih, Lan."
Seluruh keluarga yang menyaksikan adegan itu tersenyum haru. Pakde Hasan terlihat paling bahagia, air mata mengalir di pipinya melihat kedua keponakannya berdamai.