Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seandainya Para Penceramah seperti Ustadz Felix Siauw

28 November 2017   11:54 Diperbarui: 28 November 2017   12:09 3148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengikuti fenomena para penceramah kekinian di belantika dakwah Tanah Air, semakin hari kian menggelitik. Tidak saja karena soal metode dakwahnya yang beragam, atau figur para penceramahnya yang bak selebritis, namun tak jarang juga mengundang tanggapan pro-kontra dari masyarakat. 

Dunia dakwah, semakin dirasakan "sektarian", keberpihakan, atau bahkan melahirkan "fanatisme" akut yang terjebak dalam balutan subjektivitas "keakuan" atau klaim kebenaran. Dakwah zaman kiwari, tidak saja mambawa klaim-klaim atas "kebenaran" sendiri, tetapi juga klaim "kesalahan" atas pihak lain yang dituduh menghalangi kegiatan berdakwah. 

Belantika dakwah sama seperti kegandrungan masyarakat akan fenomena genre musik, ada yang suka rock, heavy metal, dangdut, pop-rock, jazz, atau bahkan musik tradisional hingga marawis atau kasidahan. Mereka seperti memiliki fans-nya sendiri-sendiri dan membawa panji genre musiknya masing-masing.

Para pendakwah---saya menyebutnya penceramah---adalah seseorang yang difigurkan seperti guru (ustadz) karena keberadaannya sebagai peyampai pesan-pesan moral dan pengajak kebajikan kepada masyarakat dan mereka kemudian mengikutinya serta merasa terpuaskan atas apa yang disampaikan penceramah. 

Sebelum era milenial, belantika dakwah tidak secanggih saat ini, karena dulu jika ingin mendatangkan penceramah, tentu saja harus pada waktu dan tempat yang tepat. Nama-nama beken yang menyejarah, seperti KH Zainuddin MZ, KH Abdul Fatah Ghazali, KH Syukron Makmun---untuk menyebut beberapa nama saja---tentunya menjadi figur-figur "inklusif" yang menjadi milik semua golongan, tak mengandung sekat-sekat kekelompokan apalagi sektarian. Ciri dari metode dakwah mereka tentu saja mengulas fenomena sosial kekinian, sesekali terkadang "menyentil" penguasa, atau kritiknya pada soal sektarianisme, fanatisme kekelompokan atau bahkan kecondongan berlebih terhadap aspek keduniawian.

Metode dakwah terdahulu, sepertinya mengedepankan cara-cara bijak, "merangkul" bukan "memukul", "membina" bukan "menghina" atau "mendekat" bukan "menghujat". Bahkan dalam beberapa hal, dakwah juga bisa menjadi "hiburan keagamaan" yang bisa dinikmati semua kalangan tak ada batas stratifikasi atau segmentasi. 

Cara pandang masyarakat terhadap penceramah, tentu saja bernada positif, hampir jarang terungkap nada-nada sumbang yang destruktif apalagi memberikan hujatan kepada penceramah. Arus globalisasi dan modernisasi---terutama dalam dunia teknologi---ternyata sedikit banyak merubah cara berdakwah, tak lagi harus hadir atau mendatangi tempat-tempat pengajian, tetapi dengan santai dapat dinikmati melalui jejaring media sosial. Bahkan, dakwah dapat dikomentari secara langsung, menjadi wacana perdebatan yang sengit, saling hujat, saling "damprat" bahkan saling "sikat".

Fenomena penceramah "bermasalah" belakangan kian marak, dari soal mereka yang berpoligami, nikah siri, melakukan penghinaan, hingga sampai pada penolakan ceramah seseorang karena dianggap berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara. Salah satu penceramah yang seringkali mendapat penolakan dari kelompok tertentu, adalah Ustadz Felix Siauw (UFS). 

Dari beragam informasi yang dirilis media, UFS seringkali ditolak berceramah, hanya karena alasan subjektif dan klasik: membahayakan keutuhan NKRI. Padahal, sesungguhnya ceramah keagamaan, tentu saja adalah penyampaian pesan-pesan moral yang baik, agar masyarakat selalu diingatkan melalui penanaman nilai-nilai kebaikan bersama. 

Saya tidak mengetahui secara pasti, apakah isi ceramah seseorang dapat berdampak langsung terhadap prilaku seseorang untuk mengikutinya atau tidak, karena saya yakin ini membutuhkan aspek penelitian yang mendalam.

Saya tentu saja secara pribadi suka mendengarkan ceramah siapapun, dari kalangan manapun, bahkan dari latar belakang keyakinan apapun. Bagi saya, hampir seluruh isi ceramah selalu memberikan hal-hal baru yang bermanfaat, walaupun tentu saja ada yang menurut saya tidak pantas dan tidak perlu diikuti dan itu cukup bagi saya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun