Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seandainya Para Penceramah seperti Ustadz Felix Siauw

28 November 2017   11:54 Diperbarui: 28 November 2017   12:09 3148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jujur, saya lebih suka ceramah-ceramah almarhum KH Zainuddin MZ, KH Abdul Fatah Ghazali, dan yang saat ini sedang "naik daun" seorang penceramah muda dari Babat, Jawa Timur, KH Anwar Zahid. Koleksi saya soal penceramah yang terakhir disebutkan, hampir memenuhi harddisk di laptop pribadi saya, bahkan di flashdisk saya simpan untuk sesakali diperdengarkan ketika saya berkendara.

Soal UFS, saya juga beberapa kali mendengar ceramahnya dan saya tidak pernah ber-suudzon, apakah dirinya terkait kaum jihadis, berpaham fundamentalis, radikalis atau sejenisnya. Yang pasti, pernah ada informasi menarik yang diunggah dirinya melalui akun Facebook pribadinya, bahwa dirinya ikut pengajian maiyahan yang diasuh kiai mbeling, Muhammad Ainun Najib (Cak Nun). Bagi saya, maiyahan adalah konsep "ngaji" yang moderat, bahkan lintas tradisi dan agama.

Sehingga, hampir dipastikan, seseorang yang memiliki cara pandang "fundamentalis" pasti enggan datang ke maiyahan. Saya berhusnudzon saja kepada UFS, dengan menghadiri maiyahan Cak Nun, berarti dirinya belajar untuk bisa menerima setiap perbedaan pendapat, mencari pencerahan keagamaan dan tentu saja berupaya mencari kebenaran dari sudut pandang yang berbeda.

Terlepas apakah itu upaya UFS meng-counter sebagian pandangan masyarakat yang menuduhnya anti-NKRI, anti-Pancasila atau anti-Aswaja, namun kedatangannya ke pengajian Cak Nun merupakan tradisi baik yang belum tentu dilakukan penceramah lainnya. Saya justru teringat, bagaimana para ulama terdahulu, mentradisikan praktik "saling mengaji" ini, mengingat mereka sadar, bahwa kebenaran bukanlah klaim bagi salah satu pihak. 

Kebenaran adalah "proses" yang senantiasa mengiringi setiap perjalanan pendalaman pemikiran, pengungkapan pendapat, dan bagaimana memandang objektivitas suatu kebenaran itu sendiri. Sejarah para ulama Nusantara terdahulu, jelas memperlihatkan tradisi seperti ini, sehingga tak ada satupun diantara mereka yang kemudian merasa dirinya atau kelompoknya paling benar. 

Saya kira, model "klaim kebenaran" yang kemudian seringkali menjadi masalah dalam berdakwah, justru semakin rumit ketika ditambah dengan paksaan kepada pihak lain agar mengakui klaim kebenarannya yang sedang dibangunnya sendiri.


Seandainya banyak penceramah seperti UFS, mau mendatangi pengajian, ikut mengaji dengan ulama-ulama lain, saling berdialog membangun tradisi keilmuan tanpa ada klaim sepihak atas suatu kebenaran, tentu saja belantika dakwah Tanah Air tak akan seheboh dan semiris saat ini. 

Setiap perbedaan dapat disatukan melalui jaringan kuat keulamaan yang saling terhubung, meskipun mereka berdakwah dengan metode berbeda, namun hakikatnya bertujuan sama: mengajak kepada kebaikan. Walaupun teknologi telah merubah dalam banyak hal, baik soal cara pandang, berpendapat, atau menyatakan sikap perbedaan yang relatif sangat cepat, namun kekuatan jaringan keulamaan tak akan membuat sebuah tujuan dakwah kemudian melenceng.

Maraknya para penceramah keagamaan yang bermasalah belakangan ini, bukannya semakin menambah wawasan yang luas soal keilmuan agama, cara pandang yang lebih bijak, atau kenyataan terserapnya nilai-nilai kebajikan dalam diri setiap pengikutnya, justru malah sebaliknya, seringkali terjadi "anomali keagamaan" dimana agama tak lagi menjadi landasan bagi tumbuhnya nilai-nilai luhur terhadap kenyataan moralitas, tetapi menjadi ajang pertentangan bahkan persemaian kebencian, karena hanya soal perbedaan pendapat. Kelompok-kelompok yang mengklaim dirinya moderat, malah ikut-ikutan memancing reaksi masyarakat dan lahirlah kondisi saling kritik atau saling hujat diantara kelompok yang sesungguhnya berkayinan sama dalam hal agama.

Bukankah metode berdakwah secara umum mengharuskan "kemudahan" bukan memperkeruh suasana dengan berbagi "kesulitan?" Bahkan doktrin dakwah keagamaan jelas "mengajak" melalui sikap yang bijak sehingga mereka yang didakwahi mengikuti bukan lari. Mengajak seseorang untuk mengikuti "jalan Tuhan" memang tak lepas dari pengetahuan memadai akan ilmu-ilmu agama seorang penceramah, bukan dengan jalan pintas, sekadar belajar agama secara instan, lalu disampaikan kepada pihak lain. 

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk" (QS Annahl: 125). Berdakwah tentu saja "meluruskan" dari "kesesatan" bukan "menyesatkan" yang telah "lurus", karena Tuhan-lah yang berhak mengklaim seseorang telah sesat atau lurus dari jalan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun