Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengundi Nasib Lembaga Antirasuah

6 September 2017   12:44 Diperbarui: 6 September 2017   21:40 2419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: youthproactive.com

Keberadaan lembaga antirasuah saat ini seakan sedang menunggu nasib, dikebiri hak-haknya atau dibubarkan. Keduanya bisa saja terjadi, karena berbagai kritikan yang terus dialamatkan kepada lembaga pemberantasan korupsi ini, menyoal berbagai kewenangan hukum yang dianggap terlalu "melampaui", sehingga terkesan tumpang-tindih dengan lembaga hukum lainnya.

Belum lagi soal OTT yang selalu diawali oleh praktik penyadapan, membuat para pejabat "nakal" merasa risih karena bisa-bisa salah sedikit saja mereka terkena OTT. Kritikan dari elemen masyarakat pegiat antikorupsi dan terbentuknya pansus DPR atas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lengkap dengan beragam temuannya, membawa lembaga antirasuah ini seakan sedang "mengundi nasib" keberuntungannya.

Dampak dari terkuaknya kasus korupsi E-KTP yang melibatkan anggota parlemen ternyata berbuntut panjang. Barangkali tidak hanya itu, aksi OTT KPK yang hampir setiap hari memenuhi lini media massa, tentunya menyasar para pejabat negara yang tentu saja berafiliasi dengan partai politik (parpol) tertentu. Aksi "heroik" KPK ini memang tidak selamanya diapresiasi masyarakat, karena ada saja yang menganggap bahwa hal itu sekedar "pencitraan" untuk menanamkan image kepada publik bahwa KPK merupakan satu-satunya lembaga paling kompeten menangkap para pejabat yang korup. OTT tentu saja membuat publik semakin berisik, karena yang menjadi fokus perhatian utamanya, bukanlah nilai uang hasil OTT-nya, tetapi siapa tokoh yang di-OTT-kan KPK tersebut.

Nilai uang korupsi kecil, asal OTT, sudah membuat lembaga antirasuah ini moncer. Padahal kasus-kasus besar yang bersifat investigatif yang bernilai ribuan kali lipat dari sekadar OTT, seringkali luput dari perhatian. Inilah barangkali yang mendorong salah satu pegiat antikorupsi Adhie Massardi mengkritik kebiasaan OTT yang dilakukan KPK, karena melupakan pada akhirnya kasus-kasus lain yang jauh lebih besar yang tak pernah terungkap. 

Di samping itu, Adhie juga menyoroti soal "keengganan" KPK menghadapi panitia hak angket DPR, padahal sebagai aparat penegak hukum yang bersih, tak perlu merasa risih oleh keberadaan hak angket, karena sama-sama sedang menjalankan amanat konstitusi. Jika sedikit-sedikit minta dukungan ke publik, jangan-jangan memang benar internal lembaga antirasuah itu memang sedang terjadi banyak masalah.

Tanpa harus menghadirkan pihak KPK di DPR, satu-persatu persoalan mulai muncul ke publik, dari soal narasi berbeda para koruptor, keberadaan rumah "sekap", ketidakjelasan soal aset sitaan negara, bahkan sampai perseteruan internal antarpenyidik jelas membuat geger publik. Ada apa dengan KPK? seakan pertanyaan ini muncul menyeruak ditengah menguatnya penolakan publik atas terbentuknya hak angket DPR. Yang lebih menggelikan, kasus penyiraman salah satu penyidik senior KPK justru terkatung-katung tak jelas rimbanya, siapa sebenarnya pelaku teror yang tega menyiramkan air keras kepada Novel Baswedan. Benarkah ada keterlibatan seorang jenderal dalam kasus Novel ini? Wallahu a'lam, karena publik hanya bisa mereka-reka serangkaian informasi yang disuguhkan secara berbeda oleh banyak media.

DPR tentu saja merupakan cerminan lembaga negara "terkuat" karena didalamnya adalah wakil-wakil rakyat yang diusulkan melalui penjaringan lewat parpol. Tak mau ada lembaga lain yang dianggap superbody atau "melampaui", maka DPR memanfaatkan hak pengawasan terhadap semua institusi pengguna APBN, termasuk KPK. Hak angket, saya kira merupakan instrumen DPR yang mengacu pada konstitusi, sehingga siapapun tak terkecuali harus tunduk dan mengikuti apapun amanat konstitusi. Menghindar atau merasa takut terkuak masalah internalnya, atau khawatir "dilemahkan" lembaganya, semestinya bukan tipikal KPK yang disebut sebagai lembaga negara yang bersih dan kompeten.

Memang benar apa yang diungkapkan mantan penasehat KPK, Adullah Hehamahua dalam sebuah acara diskusi di salah satu televisi swasta, bahwa lembaga antirasuah ini jelas diisi oleh manusia biasa yang tak luput dari salah. Jika seandainya ada kesalahan atau kekurangan, maka sudah selayaknya diperbaiki dan ditingkatkan. Bukan kemudian terus menerus meminta dukungan publik dengan melemparkan isu "pelemahan" terhadap lembaga ini. Kita tentu prihatin jika memang ada pihak-pihak yang sengaja membuat KPK lemah dalam aspek penegakan hukum, tapi di sisi lain, memang perlu ada pembenahan menyeluruh terhadap lembaga antirasuah ini agar citra "kuat" tetap melekat karena landasan kebenaran, keadilan dan kejujuran yang selalu dikedepankan.

Saya kira, munculnya perseteruan internal yang diungkap oleh salah satu direktur penyidikan KPK di depan Panitia Hak Angket, justru menunjukkan adanya ketidakberesan yang sedang terjadi pada lembaga antirasuah ini. Bagaimana sebuah lembaga disebut kuat jika di internalnya sendiri rapuh akibat konflik? Malah jangan-jangan yang "melemahkan" justru internalnya sendiri karena unsur like and dislike antara pejabat di dalamnya? KPK memang perlu dikembalikan ke khittah-nya sebagai lokomotif lembaga antikorupsi yang benar-benar "lurus" dalam memberantas korupsi di negeri ini, tak perlu dibela apalagi sekadar ingin dicitrakan sebagai pendukung antikorupsi. Alangkah lebih baik menumbuhkan mental antikorupsi untuk diri sendiri, daripada berkoar-koar menyuarakan dukungan, padahal kenyataannya bermental korup.

Sudah sejak dahulu, KPK memang selalu dirundung masalah sejak kasus "cicak vs buaya" yang justru berimbas penangkapan para pimpinannya. Bisa saja ini merupakan rangkaian awal bagi pihak lain untuk memanfaatkan celah kelemahan KPK, terutama gambaran internalnya yang konflik atau proses-proses hukum yang tampak "kurang transparan". DPR sekadar "diperalat" oleh unsur-unsur parpol yang memang geram akibat OTT KPK yang menyasar pejabat negara yang berafiliasi politik kepada salah satunya. Lihat saja, aksi Masinton Pasaribu yang mendatangi gedung KPK dan berharap dipakaikan rompi oranye kepada dirinya. Ini jelas merupakan kritikan atas setiap OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap para kader parpol di pemerintahan yang tiba-tiba dicokok karena korupsi.

Bagi saya, KPK adalah salah satu pilar negara yang justru menopang "rumah besar" bangsa ini. Ibarat seorang petani yang memiliki sawah nan luas, jika tidak sanggup mengurus dan merawatnya, maka akan dengan leluasa maling-maling mencuri hasilnya dan menduduki tanahnya. Fungsi KPK jelas, merawat dan menjaga kekayaan negeri dari para maling yang berniat mencuri hasil jerih payah negara dan rakyat. KPK tentu saja harus kokoh dan kuat, karena jika lemah, negeri ini jelas hancur karena kehilangan salah satu pilar penopangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun