Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kopi: Tafsir atas Kehidupan yang Tidak Pernah Netral

24 Mei 2025   17:10 Diperbarui: 24 Mei 2025   17:10 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi minum kopi ala filsuf. (Images generated by Dall-E)

Kopi, bagi banyak orang, hanyalah minuman pagi. Tapi bagi yang bersedia berpikir, kopi adalah metafora eksistensial. Ia tidak hanya hadir di lidah, tapi meresap ke dalam nalar. Di titik itulah saya percaya bahwa kopi bukan untuk diminum, tapi untuk dipahami.

Orang sering keliru membayangkan kopi sebagai benda. Padahal kopi adalah peristiwa. Dan setiap peristiwa menyimpan ide. Ketika kamu menyeduh kopi, kamu sedang melakukan sebuah tindakan filosofis: mengafirmasi eksistensimu. Kamu tidak sedang mengusir kantuk --- kamu sedang mengundang kesadaran.

Kopi itu pahit. Tapi hidup lebih pahit kalau kamu pura-pura manis.

Di tengah era di mana semua ingin tampil menyenangkan, kopi mengajarkan kejujuran rasa. Ia tidak menipu. Ia tidak menjanjikan rasa yang populer. Ia tidak beriklan dengan jargon "rasa keluarga" atau "teman nongkrong anak muda." Kopi adalah oposisi terhadap konsumerisme rasa.

Dan karena itu, ia menjadi ancaman bagi pasar. Pasar menyukai yang manis, yang laku dijual. Tapi kopi --- yang hitam, pahit, dan panas --- tidak ingin dibeli. Ia ingin dipahami. Dalam dunia yang mengagungkan instan, kopi adalah bentuk perlawanan terhadap waktu.

Cara kamu minum kopi, mencerminkan cara kamu berpikir.

Apakah kamu memilih kopi sachet tiga ribu perak di warung sebelah? Atau kamu menyeduhnya pelan-pelan dengan V60, mempertimbangkan suhu air dan takaran gramasi? Dua-duanya sah. Tapi keduanya menunjukkan posisi ideologismu.

Yang instan, pragmatis. Yang manual brew, reflektif. Tidak ada yang salah. Tapi jangan bilang keduanya sama. Sama itu malas berpikir. Demokrasi pun begitu. Kita tidak bisa menyamakan oligarki dan partisipasi rakyat hanya karena sama-sama disebut "pemilu."

Meja kopi adalah meja diskusi tanpa moderator.

Di sana tidak ada gelar. Tidak ada atasan. Yang ada hanya dua gelas panas dan satu topik serius. Dari sinilah lahir republik wacana: dari percakapan di pojok warung, bukan dari podium hotel bintang lima. Orang-orang yang kehabisan tempat di kampus atau parlemen, seringkali menemukan ruangnya di bawah atap seng warung kopi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun