Dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia, pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah ibarat dua sejoli yang dipasangkan oleh kepentingan partai politik, bukan oleh keserasian visi.Â
Hubungan yang seharusnya saling menopang demi pelayanan publik justru kerap berubah menjadi ajang perebutan dominasi. Fenomena ini bukan lagi kasus langka, tetapi berulang dan sistemik.
Kasus-kasus konflik di tingkat lokal sudah menjadi konsumsi publik. Di Tasikmalaya (2025), Bupati Ade Sugianto melaporkan Wabup Cecep Nurul Yakin karena dugaan pemalsuan surat.Â
Jadi, di Jember (2025), Gus Fawait dan Djoko Susanto berpisah sejak awal, konflik bermula dari pelantikan pejabat. Aceh bahkan memiliki "rekam jejak konflik" yang panjang: Irwandi vs Nazar, Zaini vs Mualem, Irwandi vs Nova. Di Aceh Tengah (2021), Wabup Firdaus mengaku tak dilibatkan oleh Bupati Shabela Abubakar dan menuduh adanya ancaman pembunuhan.
Bojonegoro (2023) juga tidak kalah riuh, saat Wabup melaporkan Bupati karena pencemaran nama baik. Kalimantan Utara (2020) mencatat konflik diam antara Irianto dan Udin Hianggio yang akhirnya tak lagi berkomunikasi.Â
Kalbar dan Jabar menyumbang cerita serupa: relasi gubernur dan wakil yang retak karena beda arah dan kendali kebijakan. Bahkan di Tegal, Wakil Wali Kota menuduh Wali Kota terlibat narkoba (yang tak terbukti), berujung penyegelan ruang kerja.
Dari berbagai contoh tersebut, tampak bahwa konflik kepala daerah dan wakilnya lebih dari sekadar persoalan pribadi. Ini adalah kegagalan desain politik lokal yang tidak memiliki fondasi struktur relasi kekuasaan yang adil.Â
Wakil kepala daerah nyaris selalu berada di posisi subordinat, hanya tampil saat seremonial, dan diabaikan dalam pengambilan keputusan penting. Bahkan UU No. 23 Tahun 2014 tidak mengatur secara rinci peran strategis wakil kepala daerah---hanya disebut "membantu kepala daerah".
Dari penelusuran berbagai kasus, setidaknya ada sembilan pola penyebab konflik: