Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Saatnya Merombak TKDN untuk Daya Saing Global

9 April 2025   07:16 Diperbarui: 10 April 2025   14:32 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah saatnya kita bicara jujur soal TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Selama bertahun-tahun, regulasi ini menjadi tameng nasionalisme ekonomi, simbol keberpihakan terhadap produk lokal. Tapi sekarang, di era di mana kecepatan, efisiensi, dan integrasi global menjadi penentu keberhasilan, kita harus bertanya: apakah TKDN dalam bentuknya yang kaku masih relevan?

Presiden Prabowo Subianto tampaknya menjawab pertanyaan itu dengan jujur dan berani. Instruksi beliau untuk membuat regulasi TKDN lebih fleksibel dan realistis bukan hanya langkah strategis, tapi juga sinyal bahwa Indonesia siap bermain di panggung global tanpa membebani pelaku industri dengan idealisme kosong.

TKDN: Dari Simbol ke Beban

Pada dasarnya, TKDN bertujuan mulia: mendorong pertumbuhan industri lokal, membuka lapangan kerja, dan memperkuat kemandirian ekonomi. Namun dalam praktiknya, regulasi ini sering justru menjadi batu sandungan. Banyak perusahaan harus menggunakan komponen lokal yang lebih mahal dan berkualitas lebih rendah hanya demi mengejar angka TKDN tertentu, tanpa mempertimbangkan efisiensi produksi dan daya saing pasar.

Coba bayangkan sebuah perusahaan teknologi lokal yang ingin memproduksi laptop untuk pasar dalam negeri. Di bawah aturan TKDN ketat, mereka harus memastikan 40% komponen berasal dari dalam negeri. Masalahnya, komponen utama seperti prosesor, layar, atau baterai masih harus diimpor karena Indonesia belum memiliki kapasitas produksi.

Simulasi 1: TKDN Ketat Tanpa Insentif

  • Komponen Lokal: Rp 50.000

  • Komponen Impor: Rp 80.000

  • Tenaga Kerja & Overhead: Rp 40.000

  • Total Biaya Produksi: Rp 170.000

  • TKDN: (170.000 - 80.000) / 170.000 x 100% = 52.94%

Dengan TKDN yang nyaris memenuhi batas minimal, produsen tetap harus mengeluarkan biaya lebih tinggi karena harus mencari komponen lokal yang sering kali lebih mahal dan sulit diperoleh. Akibatnya, harga jual naik, pasar menyempit, dan ekspansi ke luar negeri pun terganjal.

Masuknya Perspektif Baru: TKDN Fleksibel + Insentif

Kini mari kita bandingkan dengan pendekatan baru yang disarankan Prabowo: memberikan insentif kepada perusahaan yang tetap menggunakan komponen lokal, tetapi tanpa memaksakan angka tertentu.

Simulasi 2: TKDN Fleksibel + Insentif Pajak

  • Komponen Lokal: Rp 30.000

  • Komponen Impor: Rp 100.000

  • Tenaga Kerja & Overhead: Rp 40.000

  • Total Biaya Produksi: Rp 170.000

  • TKDN: (170.000 - 100.000) / 170.000 x 100% = 41.18%

  • Insentif Pajak Pemerintah: 5% dari Total Biaya Produksi = Rp 8.500

  • Biaya Produksi Setelah Insentif: Rp 161.500

Apa hasilnya? Perusahaan lebih leluasa memilih komponen dengan kualitas dan harga terbaik, tetap memakai tenaga kerja lokal, dan pada akhirnya bisa menjual produk lebih murah di pasar global. Pemerintah tetap berperan lewat insentif, bukan pemaksaan.

Skala Makro: Apa yang Terjadi Jika Ini Diterapkan Nasional?

Bayangkan jika pendekatan ini diterapkan secara luas. Indonesia bisa menjadi tujuan investasi manufaktur global karena regulasi yang pro-bisnis. Produk-produk Indonesia menjadi lebih kompetitif di pasar ekspor karena efisiensi produksi meningkat. Industri teknologi, otomotif, hingga farmasi bisa tumbuh pesat dengan integrasi rantai pasok global.

Namun di sisi lain, ini bukan berarti kita mengorbankan industri lokal. Justru di sinilah pentingnya desain insentif yang cerdas. Pemerintah bisa memberi insentif tambahan bagi perusahaan yang membangun fasilitas produksi lokal, berinvestasi dalam R&D dalam negeri, atau melakukan transfer teknologi.

Mengapa Ini Penting?

Karena kita mengusulkan pergeseran paradigma: dari proteksionisme menuju kolaborasi strategis. Dari angka-angka semu TKDN ke realitas ekonomi global. Dari pemaksaan ke pemberdayaan. Ini bukan tentang menyerah pada pasar bebas, melainkan tentang mengatur ulang permainan agar Indonesia tak lagi jadi penonton.

Jalan Tengah yang Kuat

TKDN tidak harus dihapus, tapi perlu dirombak. Alih-alih menjadi alat pembatas, jadikan ia instrumen cerdas yang memotivasi, bukan membebani. Fleksibilitas regulasi dan pemberian insentif bukan berarti lepas tangan dari industri lokal, melainkan cara baru untuk memastikan mereka tumbuh dalam ekosistem global yang kompetitif.

Jika ingin jadi pemain utama dalam ekonomi dunia, kita tak bisa terus berdiri di tepi lapangan sambil mengukur-ukur kandungan lokal. Sudah saatnya kita bermain penuh strategi. Dengan regulasi yang realistis, Indonesia bisa menang. Dan itu dimulai dari keberanian merombak TKDN hari ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun