Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kebebasan Berpikir dan Tantangan terhadap Kebesaran Tuhan

28 Januari 2025   11:10 Diperbarui: 30 Januari 2025   05:06 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kebebasan berpikir. (Sumber: Freepik.com)

Di dunia yang penuh paradoks, manusia selalu bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang eksistensi, makna, dan Tuhan. Baru-baru ini, seorang content creator menjadi sorotan karena tindakannya yang "menantang Tuhan" secara terang-terangan, sebuah tindakan yang memantik perdebatan luas tentang kebebasan berpikir, tanggung jawab moral, dan hakikat kepercayaan. Peristiwa ini menempatkan kita pada dilema yang telah lama dibahas oleh filsuf: sejauh mana kebebasan berpikir dapat diterima, dan apakah ada batas yang tak boleh dilintasi ketika membahas kebesaran Tuhan?

Kebebasan Berpikir: Hak atau Anarki?

Kebebasan berpikir adalah salah satu fondasi peradaban manusia. Ia membuka ruang bagi individu untuk merumuskan pandangan, menantang dogma, dan menciptakan dunia yang lebih kaya akan pemahaman. John Stuart Mill dalam On Liberty menegaskan bahwa kebebasan berpikir adalah hak asasi manusia yang tak bisa digugat, bahkan oleh otoritas terbesar sekalipun. Mill percaya bahwa tanpa kebebasan berpikir, manusia kehilangan kemampuan untuk berkembang secara intelektual dan moral.

Namun, kebebasan ini bukan tanpa batas. Mill juga memperingatkan bahwa kebebasan satu individu berakhir di tempat kebebasan individu lain dimulai. Artinya, ekspresi yang secara sengaja menghina atau merendahkan nilai-nilai orang lain melampaui batas-batas kebebasan yang sehat. Ketika seorang content creator secara provokatif menantang Tuhan, apakah ia sedang menjalankan hak kebebasannya, atau melibatkan diri dalam anarki pemikiran yang destruktif?

Tantangan terhadap Tuhan: Antara Provokasi dan Pencarian Makna

Si content creator tersebut, melalui sebuah video yang diunggah di media sosial, secara eksplisit menantang Tuhan untuk memberikan hukuman kepadanya jika Tuhan memang ada. Dengan nada sombong dan gestur yang meremehkan, ia mengajukan tantangan itu sebagai bentuk pernyataan ketidakpercayaannya terhadap eksistensi Tuhan. Tindakan ini, yang dilakukan di depan audiens luas, tampak lebih sebagai provokasi untuk memicu kontroversi daripada sebuah pencarian makna yang tulus. Video tersebut kemudian diikuti oleh respons luas, termasuk video stitch yang menunjukkan si content creator itu terbaring sakit, memunculkan spekulasi bahwa ia sedang menghadapi konsekuensi dari tindakannya.

Dalam sejarah filsafat, tantangan terhadap Tuhan bukanlah hal baru. Friedrich Nietzsche, dengan deklarasi kontroversialnya bahwa "Tuhan telah mati," mengguncang fondasi pemikiran Barat. Namun, deklarasi ini bukanlah tindakan sombong atau sekadar provokasi. Nietzsche berbicara tentang kematian Tuhan dalam konteks simbolis: masyarakat Barat telah kehilangan nilai-nilai spiritual tradisional, dan ini menciptakan kehampaan moral yang berbahaya.

Demikian pula, filsuf-filsuf seperti Soren Kierkegaard dan Blaise Pascal menantang konsep ketuhanan dalam pencarian makna. Kierkegaard menekankan bahwa iman sejati adalah lompatan ke dalam yang absurd -- tindakan yang tidak dapat dijustifikasi oleh rasionalitas. Pascal, melalui Wager, mengundang manusia untuk bertaruh pada keberadaan Tuhan, bukan dengan keyakinan sombong, melainkan melalui refleksi mendalam tentang ketidakpastian manusia.

Berbeda dengan para filsuf ini, tantangan yang dilakukan oleh si content creator tampak lebih sebagai upaya untuk menarik perhatian daripada pencarian makna. Dalam tindakan seperti ini, terdapat pergeseran dari dialog filosofis menuju provokasi dangkal. Di sinilah letak persoalan utama: apakah tindakan tersebut mencerminkan kebebasan berpikir, atau hanya bentuk eksibisionisme intelektual yang kosong?

Tuhan dalam Ruang Publik

Tuhan, dalam berbagai tradisi agama, bukan hanya entitas metafisik tetapi juga simbol nilai-nilai moral dan sosial. Ketika seseorang secara terbuka menantang Tuhan, ia tidak hanya mengajukan pertanyaan tentang eksistensi-Nya, tetapi juga tentang nilai-nilai yang melekat pada konsep ketuhanan. Dalam masyarakat yang pluralistik, tindakan semacam itu sering kali menjadi sumber konflik.

Namun, filsafat mengajarkan bahwa konflik semacam ini tidak harus ditakuti. Justru, dialog kritis tentang Tuhan dapat menjadi jalan untuk memperdalam pemahaman kita. Akan tetapi, dialog hanya dapat terjadi jika dilakukan dengan niat yang tulus, bukan untuk menghina atau merendahkan. Sebagai contoh, debat antara Bertrand Russell dan C.S. Lewis tentang keberadaan Tuhan menjadi model bagaimana perbedaan pandangan dapat menghasilkan wacana yang memperkaya, bukan merusak.

Etika Kebebasan Berpikir

Kebebasan berpikir tanpa tanggung jawab adalah kebebasan yang kosong. Immanuel Kant, dalam konsep etika deontologisnya, menekankan bahwa tindakan manusia harus didasarkan pada prinsip universal yang menghormati martabat setiap individu. Tantangan terhadap Tuhan yang dilakukan tanpa refleksi atau penghormatan terhadap kepercayaan orang lain melanggar prinsip ini.

Sebaliknya, kebebasan berpikir yang bertanggung jawab mengundang kita untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan sulit tentang Tuhan, tetapi dengan cara yang membangun. Hal ini tidak hanya memperkaya pemahaman individu, tetapi juga mendorong masyarakat untuk berkembang secara kolektif.

Menyeimbangkan Kebebasan dan Tanggung Jawab

Kasus content creator yang viral ini menjadi pengingat bahwa kebebasan berpikir harus selalu disertai dengan tanggung jawab moral. Dalam dunia digital yang didominasi oleh algoritma, provokasi sering kali dihargai lebih dari refleksi. Namun, sebagai masyarakat yang ingin mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan, kita harus menolak godaan untuk menggantikan kedalaman dengan sensasi.

Filsafat mengajarkan bahwa tantangan terhadap Tuhan adalah bagian dari kebebasan berpikir, tetapi tantangan ini harus dilakukan dengan niat yang tulus untuk memahami, bukan untuk merendahkan. Dialog tentang Tuhan, ketika dilakukan dengan cara yang etis, dapat menjadi salah satu jalan menuju kearifan. Sebaliknya, provokasi tanpa makna hanya menciptakan kebisingan yang merusak.

***

Kebebasan berpikir adalah hak yang harus dijaga, tetapi hak ini tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menghancurkan nilai-nilai bersama. Tantangan terhadap Tuhan, ketika dilakukan dengan refleksi dan penghormatan, dapat menjadi cara untuk memperkaya pemahaman kita tentang eksistensi dan makna. Namun, ketika tantangan ini berubah menjadi provokasi dangkal, ia kehilangan esensinya sebagai ekspresi kebebasan berpikir.

Sebagai manusia yang terbatas, kita harus mengingat bahwa kebebasan berpikir adalah sarana untuk mencari kebenaran, bukan alat untuk membuktikan superioritas kita terhadap yang lain, apalagi terhadap Yang Mahakuasa. Dalam konteks ini, filsafat mengundang kita untuk melihat kebesaran Tuhan bukan sebagai sesuatu yang harus ditantang dengan kesombongan, tetapi sebagai misteri yang mengundang kita untuk berpikir, merasa, dan bertanya dengan rendah hati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun